TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Zaman digital melahirkan generasi yang serba ingin cepat. Kecepatan menjadi ukuran keberhasilan, sementara proses yang panjang dianggap hambatan. Dalam dunia seperti ini, ilmu perlahan bergeser dari sesuatu yang diproses menjadi sesuatu yang dikonsumsi.
Kita melihat bagaimana orang merasa cukup mengetahui “poin-poin agama” lalu merasa siap bicara penuh keyakinan di forum publik. Padahal, seperti dikatakan Imam al-Ghazālī, “Ilmu tanpa proses tazkiyah hanya akan melahirkan kebingungan dan kekacauan, bukan kematangan.”
Fenomena ini menyebabkan kegagalan mental generasi tidak tahan kritik, tidak tahan banting, tidak siap diuji. Banyak orang mengira bahwa menjadi pintar cukup dengan membaca ringkasan, menonton video pendek, atau mendengar ceramah satu menit.
Padahal, Zygmunt Bauman sejak lama mengingatkan bahwa kita sedang hidup dalam liquid modernity, sebuah masa ketika struktur kokoh runtuh dan manusia kehilangan daya tahan karena semuanya cair dan instan.
Kecepatan zaman bukan berarti manusia harus membentuk kecerdasannya secara instan. Justru di tengah percepatan, yang diperlukan adalah pendalaman, ketekunan, dan kesabaran menghadapi proses. Tanpa itu, manusia hanya menjadi konsumen informasi bukan pemilik ilmu.
Ruang digital hari ini memunculkan sosok-sosok baru: ustaz satu menit, filsuf reels, dan akademisi TikTok. Mereka muncul bukan karena kedalaman ilmunya, tetapi karena kemampuan vokal dan keberuntungan algoritma.
Inilah yang oleh Neil Postman disebut sebagai “public discourse yang berubah menjadi hiburan” sehingga siapa pun yang pandai tampil lebih dipercaya daripada mereka yang mendalami.
Kita menyaksikan orang bicara agama di depan ribuan orang hanya karena pernah membaca kutipan singkat. Tanpa tahu konteks, sejarah, metodologi, atau disiplin ilmu yang menyertainya. Lebih aneh lagi, masyarakat mudah percaya. Informasi agama yang diterima menjadi literal, dangkal, dan kadang menyesatkan.
Padahal, al-Ghazali sudah mengingatkan bahwa salah satu kerusakan besar dalam agama adalah ketika orang yang tidak layak bicara agama diberi panggung dan dipercaya. Namun inilah wajah zaman: otoritas bukan lagi ditentukan oleh ilmu, tetapi oleh interaksi, engagement, dan popularitas. Otoritas semu ini mengikis martabat ilmu. Yang tersisa hanya opini yang dibungkus retorika.
Pemikir, dosen, dan akademisi menghadapi tantangan berat. Mereka bekerja dalam ritme yang lambat dan mendalam, sementara dunia digital bergerak cepat dan dangkal. Hasil riset yang memakan waktu bertahun-tahun dengan mudah tenggelam di antara video yang viral 15 detik.
Yuval Noah Harari mencatat bahwa masa depan akan dikuasai oleh mereka yang mampu mengolah kedalaman, bukan sekadar kecepatan. Namun realitas hari ini memaksa akademisi untuk beradaptasi: bukan untuk ikut menjadi dangkal, tetapi untuk hadir di ruang publik dengan gaya baru tanpa kehilangan integritas ilmu.
Karenanya, akademisi harus menempati dua ruang sekaligus: Pertama, Ruang sunyi di mana ilmu diolah secara serius, Kedua, Ruang publik digital di mana ilmu disampaikan secara komunikatif dan berkelas.
Pesantren sebagai Penjaga Kedalaman di Tengah Badai Instan
Di tengah semua kegaduhan dan percepatan ini, pesantren berdiri sebagai salah satu benteng terakhir yang tetap mempertahankan proses. Santri dilatih mengkaji turats bertahun-tahun, menghafal, mendalami konteks, mengikuti tahapan, dan ditempa mental.
Proses gradual ini tidak dapat digantikan oleh teknologi apa pun. KH. Hasyim Asy’ari pernah menegaskan bahwa “Ilmu itu hanya bisa diraih dengan ketekunan, kesungguhan, dan waktu yang panjang.” Pesantren menjaga prinsip itu ketika dunia lain mulai melupakannya.
Dengan jumlah santri dan alumni yang besar, pesantren memiliki peluang menjadi pengendali arah keilmuan Islam, bukan dengan cara mendominasi, tetapi dengan menunjukkan kualitas proses.
Pesantren dapat berperan sebagai pusat pendalaman ilmu, penjernih hoaks keagamaan, penjaga metodologi, dan pemberi ketahanan intelektual bagi masyarakat luas.
Di saat banyak orang memilih jalan pintas, pesantren mengajarkan bahwa jalan ilmu adalah jalan panjang tetapi itulah satu-satunya jalan yang melahirkan ketenangan, kebijaksanaan, dan kedewasaan.
Jika tren ilmu instan ini terus dibiarkan, kita akan menyaksikan lahirnya generasi yang pandai berbicara tetapi tidak mampu berpikir, gesit mengomentari tetapi rapuh menghadapi ujian. Ruang digital akan terus melahirkan otoritas semu orang yang berani tampil tanpa bekal metodologi, sementara suara para ahli tenggelam oleh riuh algoritma.
Karena itu, ini bukan lagi saatnya bersikap santai. Akademisi harus hadir di gelanggang publik, pesantren harus mengokohkan perannya sebagai penjaga kedalaman, dan masyarakat harus kembali menghormati proses.
Dunia boleh semakin cepat, tetapi jika ilmu ikut dibuat instan, maka kita tidak sedang membangun peradaban kita sedang menyalakan api kekacauan yang akan membakar masa depan.
***
*) Oleh : Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |