TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Pendidikan dasar gratis dijamin pemerintah bagi setiap warga. Hal ini sebagaimana diatur dalam UUD 45 hasil perubahan. Khususnya pada pasal 37 ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Kemudian ayat (2) menegaskan, setiap warga wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Selanjutnya, dipertegas UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pasal 34, bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Namun pada praktiknya, banyak sekolah masih melakukan pungutan dari orang tua/wali siswa berkedok iuran lewat komite sekolah.
Padahal berdasarkan Permendikbud 75 tahun 2016 tentang komite sekolah. Pada pasal 12 huruf b, dengan tegas melarang komite sekolah, baik secara kolektif atau persorangan melakukan pungutan dari peserta didik, orang tua/walinya.
Praktik pungutan lewat komite sekolah ini tentu membebani bagi orang tua atau wali siswa. Seperti diakui salah satu orang tua siswa SMPN 1 Bondowoso, inisial E.
Dia mengaku harus membayar beberapa iuran lewat komite sekolah. Pertama dia harus membayar uang insidental sebesar Rp 1,5 juta untuk tiga tahun.
“Uang insidental ini bisa dicicil selama tiga tahun. Bisa 500 ribu per tahun, sampai lunas,” katanya saat dikonfirmasi.
Tak hanya itu kata dia, setiap bulan siswa diwajibkan membayar uang komite sebesar Rp160.000. Menurut E, pembayaran bisa langsung cash atau bayar via rekening.
Wali siswa tersebut juga menunjukkan bukti transfer ke rekening dengan penerima “Komite Sekolah SMPN 1 Bondowoso”, sebesar Rp 160.000. “Ada biaya pendaftaran ulang masih Rp 1,3 juta,” imbuhnya.
Berdasarkan informasi diterima TIMES Indonesia, jumlah siswa di SMPN 1 Bondowoso 700 lebih. Jika setiap siswa membayar Rp 160 ribu, maka total iuran komite per bulan mencapai Rp 112 juta.
Belum lagi uang insidental komite Rp 1,5 juta untuk tiga tahun dan dikali 700 siswa. Maka jumlah iuran yang diterima mencapai Rp 1 miliar lebih.
Sementara dikonfirmasi terpisah, Kepala Sekolah SMPN 1 Bondowoso, Gendot Budiyono mengatakan bahwa iuran komite sekolah itu bersifat sukarela.
Bahkan kata dia, jika ada yang membayar via transfer pihaknya tidak tahu satu per satu siapa namanya. Gendot juga membantah siswa memiliki kartu pembayaran bulanan. Dia mengklaim itu hanya kartu pelajar seperti pada umumnya.
“Karena ini bentuknya sumbangan sukarela, kami tidak memberikan bukti pembayaran,” paparnya saat dikonfirmasi, Selasa (5/8/2025) kemarin.
Ia mengklaim dari jumlah siswa 700, yang membayar iuran sekitar 60 persen. Sementara terkait jumlah iuran Rp 160 ribu memang ada. Tapi kata dia, ada yang membayar di bawah Rp 160 ribu.
Menurutnya, dengan jumlah siswa 700 lebih, SMPN 1 Bondowoso menerima dana BOS sekitar Rp 800 juta per tahun. Namun jumlah itu kata dia, tidak cukup jika untuk membiayai semua program dan kebutuhan sekolah. Apalagi ada beberapa kegiatan yang tidak bisa didanai oleh BOS.
Dia mengklaim bahwa untuk biaya listrik setiap bulan yang dianggarkan dari BOS bisa mencapai Rp 16 juta, karena setiap ruang kelas dilengkapi AC.
Kemudian untuk honor guru GTT dan PTT hampir Rp 25 juta setiap bulan. Besaran untuk honor GTT tergantung jamnya.
“Pendapatan teman-teman GTT PTT itu lebih kurang sejutaan (per bulan, red). Jumlah guru saya, antara ASN dan GTT separuh-separuh. Belum lagi untuk buku 10 persen,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan, jika hanya mengandalkan BOS maka kualitas SMPN 1 akan sama seperti SMP lainnya.
Menurutnya, di sekolahnya ada program morning class, olimpiade class, tahfidz, ditambah pembelajaran keimanan dan ketaqwaan. Ia mengaku sering menggandeng profesional untuk mengajar. Adapun insentif atau honornya tidak bisa diambilkan dari BOS.
Oleh karena itu lanjut dia, untuk kegiatan yang tidak dianggarkan dari BOS, ekolah menggunakan dana iuran komite sekolah dengan lebih dulu mengirimkan proposal.
Adapun untuk Rp 1,3 juta itu lanjut dia, bukan untuk pendaftaran tapi untuk seragam karena di sekolah ada koperasi. Tapi dirinya mengaku tidak memaksa agar siswa membeli seragam di koperasi sekolah.
Sementara soal uang insidental Rp 1,5 juta per siswa. Dia mengaku hanya 60 persen yang membayar dan dananya untuk pengadaan CCTV, perbaikan AC hingga untuk perpustakaan. “Jika dipikir-pikir itu tidak cukup,” akunya. (*)
Pewarta | : Moh Bahri |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |