TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Ada satu sosok yang kehadirannya mungkin tak lagi kita perhatikan, tetapi jejaknya terus hidup dalam setiap keputusan yang kita ambil hari ini: guru. Mereka pernah duduk di depan kelas dengan selembar kapur, atau berdiri di ruangan kecil dengan sabar yang tak kita mengerti waktu itu.
Kini, setelah hidup membawa kita jauh, kita baru paham bahwa setiap langkah yang mantap berasal dari tangan yang pernah menuntun. Sebagaimana pernah ditulis Al-Ghazali, “Guru adalah yang menghidupkan hati; tanpa hati yang hidup, ilmu hanya menjadi beban.” Dan mungkin di titik ini kita harus melihat lebih jernih: guru bisa letih, dan ketika guru letih, generasi ikut rapuh.
Keletihan guru bukan hanya tentang badan yang payah setelah mengajar. Ia lebih sunyi dari itu. Ada letih yang tidak tampak, yang mengendap dalam hati mereka.
Letih emosional ketika harus memikul ratusan kisah murid; letih intelektual mengikuti zaman yang bergerak cepat; letih spiritual ketika mengajarkan nilai yang justru dilanggar oleh ruang sosial di luar kelas.
Namun keletihan guru juga lahir dari kenyataan bahwa mereka sering berjalan sendirian. Guru dihadapkan pada tuntutan yang terus bertambah, sementara penghargaan moral dan sosial kerap tak sebanding dengan pengorbanan mereka. Mereka menjadi benteng terakhir akhlak, padahal lingkungan luas justru semakin kehilangan arah.
Di titik inilah guru sering merasa seperti menyalakan lilin di tengah angin kencang etap menyala, tetapi nyalanya terus digoyangkan zaman. Keletihan semacam ini tidak bisa hanya diobati dengan seremoni dan ucapan terima kasih; ia memerlukan perubahan cara bangsa ini memandang martabat guru.
Solusi bagi keletihan itu bukan hanya soal kesejahteraan, tetapi pemulihan martabat. Guru harus diberi ruang untuk tumbuh ruang belajar yang layak, pelatihan yang bermutu, dan dukungan moral dari masyarakat yang mengakui bahwa karakter bangsa digenggam oleh tangan mereka.
Sekolah harus menjadi ekosistem yang menyehatkan jiwa, bukan mesin administratif. Dan yang terpenting, keluarga serta masyarakat harus kembali menjadikan guru sebagai rujukan nilai, bukan sekadar penyedia layanan pendidikan. Ketika guru kembali dimuliakan secara menyeluruh, keletihan mereka akan berubah menjadi tenaga baru yang menghidupkan generasi.
Namun dalam tradisi sufistik, guru adalah penjaga cahaya batin. Rumi pernah menulis, “Guru adalah lilin yang terbakar agar sekelilingnya menemukan jalan.” Cahaya itu tetap menyala meski redup, tetap mengarahkan meski diterpa kebisingan dunia. Guru terus memberi bahkan ketika dunia tak selalu memberi ruang bagi mereka.
Dalam kegelapan moral yang kadang meliputi zaman, cahaya guru menjadi kompas terakhir yang dimiliki generasi. Tanpa cahaya itu, anak-anak hanya tumbuh secara usia, bukan secara jiwa.
Mereka punya gadget tetapi kehilangan arah, punya informasi tetapi tidak punya kebijaksanaan. Di sinilah peran guru menjadi tak tergantikan karena ilmu tanpa cahaya hanyalah data yang membingungkan.
Guru menyalakan makna di balik pengetahuan, menanam arah di balik kecerdasan. Itulah cahaya yang tak bisa diberikan oleh teknologi, kurikulum, atau sistem apa pun selain oleh hati yang bening.
Dan bangsa yang ingin berdiri kokoh harus menjaga agar cahaya itu tetap menyala. Generasi muda membutuhkan guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai penjaga jendela batin yang mengajarkan bagaimana berpikir jernih, merasa dengan benar, dan memilih dengan arif. Tanpa cahaya guru, generasi hanya berjalan dengan mata terbuka tetapi hati tertutup.
Karena itu, upaya negara, masyarakat, dan keluarga untuk menguatkan peran guru bukanlah bentuk belas kasihan melainkan kebutuhan mendasar untuk memastikan bahwa masa depan bangsa tidak tumbuh dalam gelap. Guru adalah cahaya yang menuntun, dan generasi adalah jalan yang membutuhkan terang itu.
Ketika Keletihan Guru Menjadi Cermin Bangsa
Jika guru letih, itu bukan kelelahan pribadi tu cermin bangsa. Mereka yang membentuk karakter generasi tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Sebab rapuhnya guru akan menjadi rapuhnya masa depan. Dan bangsa tanpa guru yang kuat adalah bangsa yang kehilangan arah moralnya.
Negara tidak boleh hanya menjadi penonton yang datang di hari peringatan, lalu pergi tanpa jejak. Keletihan guru adalah alarm yang seharusnya membangunkan negara dari tidur panjangnya.
Negara harus hadir bukan hanya melalui kebijakan administratif, tetapi dengan keberpihakan nyata yang membuat guru merasa dihargai, dilindungi, dan ditopang untuk terus menyalakan cahaya. Sebab bangsa yang besar bukan diukur dari gedung-gedungnya, melainkan dari sejauh mana ia merawat para penjaga akalnya.
Ketika negara benar-benar berdiri di belakang guru, maka keletihan berubah menjadi kekuatan, kesunyian berubah menjadi harapan, dan rapuhnya masa depan perlahan menemukan pijakannya kembali.
Bangsa ini tidak hanya membutuhkan sekolah yang megah atau kurikulum yang baru, tetapi hati yang kembali memuliakan guru. Sebab dalam setiap guru tersimpan percikan cahaya yang menjaga manusia dari kesia-siaan. Mereka mengajarkan kita cara berjalan sebelum kita mengenal arah, cara berdiri sebelum kita mengerti tujuan.
Jika hari ini mereka letih, maka yang rapuh bukan hanya kelas dan ruang belajar tetapi masa depan yang sedang kita bangun bersama. Maka marilah kita jaga para guru, bukan sekadar dengan ucapan selamat, tetapi dengan kesadaran bahwa merekalah penjaga cahaya yang membuat bangsa ini tetap memiliki harapan.
***
*) Oleh : Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |