https://bondowoso.times.co.id/
Opini

Sekolah yang Menyembuhkan Luka

Senin, 25 Agustus 2025 - 11:12
Sekolah yang Menyembuhkan Luka Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis.

TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Mendengar kata luka, ingatan kita sering terbatas pada perban, darah, dan rasa perih di kulit. Padahal, luka hadir dalam berbagai wajah. Mulai lutut lecet karena jatuh di halaman, hingga hati yang retak karena kata-kata kasar teman sebangku. 

Ada luka yang cepat sembuh hanya dengan sedikit obat merah, namun ada pula luka yang terus membekas meski tahun berganti.

Di ruang kelas, anak-anak tidak hanya belajar membaca dan berhitung. Mereka juga belajar tentang arti diterima, dihargai, dan disayangi. 

Setiap ejekan yang dilontarkan, setiap tatapan meremehkan, bisa meninggalkan bekas lebih dalam daripada sebuah goresan di tangan. Di balik tawa seorang anak, bisa saja tersembunyi luka yang sedang ia tanggung sendirian.

Luka fisik mudah terlihat. Kita bisa bersihkan darah, tempelkan plester, lalu anak pun kembali tersenyum. Tetapi luka psikologis jauh lebih sulit dideteksi. 

Anak yang biasanya ceria bisa tiba-tiba menjadi pendiam. Anak yang rajin bisa mendadak enggan berangkat ke sekolah. Ada yang menangis diam-diam, ada pula yang menutupinya dengan tawa. Kita hanya melihat permukaan, tetapi tidak menyelami isi hatinya. 

Apakah luka kecil yang anak alami akan terus membekas dan dibawanya hingga dewasa? Betapa banyak orang dewasa yang kehilangan keberanian berbicara, hanya karena pernah ditertawakan di bangku sekolah. 

Betapa banyak yang tumbuh dengan rasa rendah diri, hanya karena pernah disepelekan oleh gurunya. Luka yang dibiarkan tanpa sembuh, pelan-pelan menjelma menjadi tembok penghalang bagi masa depan.

Kita perlu sejenak merefleksi bersama. Sudahkah sekolah benar-benar aman dari luka? Aman dari lantai yang licin, tapi juga aman dari kata-kata yang menusuk hati. 

Aman dari paku yang mencuat, tapi juga aman dari budaya saling merendahkan. Aman dari benda-benda tajam, tapi juga aman dari tatapan dan suara yang melemahkan semangat dan menusuk rasa percaya diri.

Sekolah bukan hanya ruang menumpuk pengetahuan. Ia seharusnya menjadi ruang yang menyembuhkan. Ruang di mana anak-anak merasa diterima apa adanya, tanpa takut dibandingkan dengan yang lain. 

Ruang dimana kegagalan bukan aib, melainkan kesempatan belajar yang membuat mereka lebih tangguh. Ruang di mana guru tidak hanya hadir sebagai pengajar, melainkan juga pelindung yang tahu kapan harus menegur, dan kapan harus merangkul. 

Kualitas sekolah tidak hanya diukur dari nilai ujian atau prestasi akademik semata. Ukuran sejati sekolah adalah sejauh mana ia membuat anak-anak merasa aman, bahagia, dan berani menjadi dirinya sendiri. 

Jika sekolah mampu menciptakan rasa aman itu, maka setiap ruang kelas akan berubah menjadi rumah kedua. Tempat di mana ilmu tumbuh dalam cinta kasih. Setiap luka, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, mendapatkan kesempatan untuk sembuh.

Peran guru lebih besar daripada sekadar menguasai kurikulum. Kata-kata seorang guru bisa menjadi obat, tetapi juga bisa menjadi racun. Tatapan penuh pengertian bisa menenangkan, tetapi tatapan meremehkan bisa menghancurkan. Sekolah aman dari luka hanya mungkin terwujud bila para pendidik menyadari betapa besar kekuatan yang mereka miliki dalam membentuk jiwa anak-anak. 

Menciptakan sekolah aman dari luka bukan hanya tugas guru. Orang tua, masyarakat, bahkan pemerintah punya peran yang sama penting. Orang tua bisa mulai dengan mendengarkan cerita anak tanpa menghakimi, karena setiap kisah kecil yang mereka bawa pulang adalah jendela untuk memahami dunia batinnya. Guru bisa memulai dari hal sederhana, memilih kata yang menyembuhkan, bukan kata yang melukai. 

Masyarakat dapat membangun budaya saling menghargai, sehingga anak-anak belajar bahwa rasa hormat tak berhenti di ruang kelas. Dan pemerintah, alih-alih hanya mengejar angka dan prestasi, perlu memastikan setiap regulasi berpihak pada kebahagiaan anak. 

Solusi mungkin tidak lahir dalam sekejap, tetapi langkah kecil ini, bila dilakukan bersama, akan menjelma menjadi kultur baru. Sekolah yang benar-benar aman dari luka.

Sekolah aman dari luka bukan impian yang mustahil. Ia adalah cita-cita yang bisa diwujudkan, asalkan kita mau menumbuhkan kepekaan dan kepedulian. 

Ketika seorang anak berani tersenyum kembali setelah terjatuh. Ketika ia merasa didukung setelah gagal ujian. Ketika ia yakin sekolah adalah tempat paling aman untuk menjadi dirinya sendiri. Saat itulah kita tahu bahwa luka, baik fisik maupun batin, bisa disembuhkan. Bersama kita menjadi Sang Penyembuh! (*)

***

*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bondowoso just now

Welcome to TIMES Bondowoso

TIMES Bondowoso is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.