TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Tragedi Gerbong Maut adalah salah satu peristiwa paling kelam yang hingga kini masih melekat kuat dalam ingatan masyarakat Bondowoso. Bahkan pemerintah melaksanakan upacara peringatan tragedi itu setiap Bulan November.
Di balik sejarah panjang perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tragedi Gerbong Maut menjadi saksi betapa mahalnya harga sebuah kebebasan.
Peristiwa memilukan itu terjadi pada 23 November 1947. Hal itu berawal saat Belanda melakukan penangkapan besar-besaran terhadap TRI, laskar-laskar rakyat, gerakan bawah tanah, hingga warga kecil yang bahkan tak tahu-menahu soal perlawanan.
Penjara Bondowoso pun penuh sesak—sekitar 637 orang dijejalkan dalam ruang yang tak lagi manusiawi.Belanda kemudian memutuskan memindahkan tahanan yang dikategorikan “pelanggaran berat” ke Surabaya.
Kereta api dipilih sebagai alat angkut, dan pemindahan dilakukan dalam beberapa gelombang. Dua tahap pertama berlangsung tanpa insiden berarti karena gerbong masih memiliki ventilasi, meski hanya selebar 10–15 cm.
Namun tahap ketiga berubah menjadi bencana. Gerbong ditutup rapat, rakyat dilarang mendekat, dan para tahanan dipaksa masuk tanpa diberi ruang bernapas. Di sinilah awal mula tragedi yang kemudian dikenal sebagai Gerbong Maut.
Menurut buku catatan sejarah Bondowoso, tepat pukul 04.00 WIB, 23 November 1947, para tahanan yang terdaftar untuk dipindahkan dibangunkan secara kasar oleh tentara Belanda.
Mereka dikumpulkan di halaman penjara. Di antaranya 20 warga desa, 30 anggota Kelaskaran dan Gerakan Bawah Tanah, 30 anggota TRI, serta 20 tahanan rakyat dan polisi, sehingga genap 100 orang.
Pukul 05.30 WIB, mereka tiba di Stasiun Bondowoso. Tahanan dibagi ke dalam tiga gerbong. Yakni Gerbong 1 (GR 5769) berisi 32 orang; Gerbong 2 (GR 4416) memuat 30 orang; dan Gerbong 3 (GR 10152) diisi 38 orang, gerbong paling baru sekaligus terpanjang.
Begitu pintu gerbong dikunci, kegelapan, panas, dan udara yang nyaris tak ada, langsung menyiksa para tahanan, padahal matahari bahkan belum tinggi.
Kereta berangkat pukul 07.30 WIB menuju Surabaya. Di Stasiun Tamanan, muncul peristiwa yang mengguncang. Kiai Samsuri (50) membanting-bantingkan tubuhnya sambil berteriak kepanasan. Dengan kondisi gerbong yang nyaris tanpa udara, bahkan 10 orang pun tak akan kuat bertahan, apalagi puluhan.
Di Stasiun Kalisat, penderitaan makin menjadi. Kereta harus menunggu kedatangan rangkaian dari Banyuwangi selama dua jam, tepat saat matahari mulai terik. Barulah sekitar 10.30 WIB kereta kembali bergerak, melintasi Jember menuju Probolinggo.
Siang hari menjadi titik terberat. Dinding dan atap gerbong yang terbuat dari plat baja menyerap panas berlipat-lipat. Para tahanan tersiksa oleh dehidrasi, kelaparan, dan panas yang tak terbayangkan.
Dalam upaya bertahan hidup, sebagian terpaksa meminum air kencing sesama tahanan, sebuah tindakan yang mencerminkan betapa kejamnya situasi saat itu.
Setelah perjalanan yang memakan waktu sekitar 16 jam, kereta akhirnya tiba di Stasiun Wonokromo. Hasil pendataan membuat siapa pun yang mendengar akan tercekat.
Gerbong 1, didapati 5 orang sakit keras, 27 masih hidup namun sangat lemah.
Gerbong 2, ada 8 orang meninggal, 6 sakit parah.
Kemudian untuk Gerbong 3, seluruh tahanan sebanyak 38 orang meninggal dunia, tak satupun selamat
Gerbong ketiga, yang paling baru dan tertutup rapat tanpa celah udara, menjadi ruang kematian yang sempurna. Tidak ada angin, tidak ada air, hanya panas yang membakar tubuh hingga tak mampu bertahan.
Penderitaan pun belum berakhir. Para tahanan yang masih hidup dipaksa mengangkat jenazah teman-teman mereka. Tubuh para korban harus diangkat dengan hati-hati karena kulit dan daging mereka mengelupas akibat suhu panas yang ekstrem. Jenazah kemudian diangkut dengan truk menuju tempat pemakaman. (*)
| Pewarta | : Moh Bahri |
| Editor | : Ferry Agusta Satrio |