TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Sejak tahun 80-an, saat umur saya masih tujuh hingga delapan tahun, saya sudah mendengar nama Gus Dur. Sumber utama informasi datang dari orang tua saya, dari almarhum ayah saya. Kebetulan ayah saya alumni PP. Tebuireng. Pondok Pesantren yang menjadi pijakan pertama perjuangan Gus Dur sekaligus Pondok Pesantren yang turut membesarkan nama Gus Dur. Dalam ceritanya, ayah selalu mengisahkan masa bahagianya di Tebuireng, selama mengabdi sebagai khoddam (pelayan) salah satu putra Hadratus Syeh KH. Hasyim As’ari, KH. Abd. Kholiq Hasyim.
Saat Gus Dur mencuri perhatian di pentas Muktamar NU Situbondo di tahun 1984, dengan sangat semangat, ayah saya mengikuti semua proses muktamar tersebut dengan sangat khidmat, seksama dan penuh kebanggan. Selain karena isu yang diangkat sangat krusial dan sangat menarik, yaitu tentang khittah NU dan Pengakuan Pancasila sebagai ideologi, juga karena kehebatan Gus Dur yang berhasil menghipnotis muktamirin dan media massa tanah air saat itu.
Terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU di ajang Muktamar Situbondo, semakin meneguhkan posisi Gus Dur sebagai bintang di Muktamar Situbondo sekaligus membuat ayah saya semakin bangga dan penuh gairah menjadi NU dan menjadi bagian dari Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Setiap membahas Gus Dur, ayah saya akan langsung menghubungkan dengan Pondok Pesantren Tebuireng.
Ayah saya sangat yakin, bahwa kehebatan Gus Dur adalah buah dan hasil tirakat para leluhurnya di Jombang, di Tebuireng dan Denanyar. Bahwa kehebatan Gus Dur adalah buah dari kehebatan kakeknya, Hadratus Syeh KH. Hasyim As’ari. Bahwa kecerdasan Gus Dur adalah buah dari kecerdasan ayahandanya, KH. Abd. Wahid Hasyim. Keberanian Gus Dur adalah contoh dari keberanian kakek dari garis ibunya, yaitu KH. Bisri Syamsuri di Denanyar Jombang.
Cerita ayah saya tentang Gus Dur membuat saya semakin ingin mengenal sosok Gus Dur. Saya mencoba membaca semua berita tentang Gus Dur. Paling seru, ketika membaca majalah AULA. Majalah yang diterbitkan oleh PWNU Jawa Timur saat itu. Tiap baris berita tentang Gus Dur atau tulisan Gus Dur saya akan lalap habis dengan penuh gairah. Begitu pula, Ketika di berbagai media massa, terutama media cetak, misal Jawa Pos memuat berita tentang Gus Dur, saya akan rela menunggu pinjaman dari tetangga sebelah rumah yang ‘kuat’ berlangganan Jawa Pos tiap hari. Maklum, saat itu, koran hanya menjadi konsumsi keluarga yang terdidik dan kuat secara ekonomi. Sedangkan, untuk ukuran ayah saya, yang hanya seorang kepala sekolah sekolah dasar di sebuah desa, menjadi mustahil dapat berlangganan koran sekelas Jawa Pos.
Menjadi Gus Durian Di Nurul Jadid
Kekaguman saya pada Gus Dur terbayar lunas ketika tahun 90 an awal, Gus Dur hadir ke PP. Nurul Jadid dan saya telah menjadi salah seorang dari ribuan santri Nurul Jadid Paiton Probolinggo yang berebut cium tangan Gus Dur. Saya tidak ingat persis tahun berapa kejadian malam itu, tapi yang saya ingat, kami semua berebut mencium ta’dzim tangan Gus Dur dan tangan kiai kami, KH. Abd. Wahid Zaini, pengasuh PP. Nurul Jadid saat itu. KH. Abd. Wahid Zaini adalah salah seorang wakil Gus Dur di PBNU sekaligus sahabat karib Gus Dur.
Interaksi fisik pertama saya dengan Gus Dur di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo menjadi pintu masuk “ideologi” Gus Durianisme ke dalam bawah alam sadar saya. Bukan hanya karena tertarik dengan ide-ide dan model perjuangan Gus Dur, namun juga karena tarikan cinta yang sangat kuat. Cinta yang lahir dan tersambung karena guru dan orang tua. Ayah saya adalah pencinta Gus Dur, berikut pula, semua kiai saya di PP. Nurul Jadid adalah pencinta Gus Dur.
Saya merasa sangat beruntung karena masa belajar awal saya, berada di PP. Nurul Jadid. Karena sejak di PP. Nurul Jadid ketertarikan saya pada dunia aktivis tumbuh pesat. Katertarikan itu karena gesekan pengetahuan saya dengan senior-senior di pondok. Sejak di MTs. Nurul Jadid hingga di MA. Nurul Jadid gesekan pengetahuan itu telah terjadi dengan sangat intens, terutama dengan senior-senior yang telah duduk di bangku kuliah.
Pikiran-pikiran Karl Marx, Email Durkheim, Max Weber, Antonio Gramsci, Soekarno, Tan Malaka, Agus Salim, Hatta hingga Gus Dur telah saya dengar sayup-sayup detika duduk di bangku sekolah, di MTs Nurul Jadid. Di saat saya dengan sangat terkagum-kagum menyaksikan para mahasiswa IAINJ (sekarang UNUJA) berdiskusi di pojok-pojok kampus, di pojok warung bahkan di pojok-pojok musholla. Diskusi para aktivis mahasiswa IAINJ ini memancing saya untuk terus menerus mengikuti pikiran-pikiran Gus Dur, membandingkan dengan para tokoh masa lalu, mencari tahu inspirasi dan refrensi teori yang kiranya Gus Dur pakai dalam setiap perjuangan demokrasinya.
Dengan membaca pikiran Gus Dur, membandingkan dengan tokoh hebat lain, serta mencari tahu sumber inspirasi dan refrensi teori yang kiranya diapakai oleh Gus Dur, meskipun tertatih, saya mulai memahami pola gerakan yang Gus Dur lakukan dalam memimpin NU dan sebagai pejuang demokrasi. Saya dan teman-teman saya di PP. Nurul Jadid tidak mudah kaget, tidak mudah terpancing untuk menyalahkan dan menghujat prilaku nyleneh Gus Dur sebagaimana kebanyakan kelompok anti Gus Dur saat itu.
Salah satu yang sangat saya ingat adalah ketika Gus Dur dengan sangat tegas menolak formalisme Islam dengan menolak bergabung ke Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Penolakan Gus Dur ini tentu menggoncang dan membuat tidak senang sebagian kelompok Islam formal yang telah lama mencari jalan masuk ke pusat kekuasaan Orde Baru. Orang-orang seperti Dawan Rahardjo dan Syafi’i Anwar menjadi corong kekuasaan yang paling sering bersitegang pemikiran dengan Gus Dur.
Bagi Dawan Rahardo dan Syafi’i Anwar, ICMI menjadi salah satu pintu rekonsiliasi politik antara Soeharto dan Islam formal. Setelah sekian lama kelompok Islam formal dimarjinalkan, tidak diberi tempat yang layak dalam ruang-ruang kekuasaan Orde Baru, maka ketika proposal pendirian ICMI disetujui oleh Soeharto, pintu rekonsiliasi dan “kawin politik” antara Islam formal dengan Soeharto seakan baru akan dimulai dan ini harus didukung, demi Islam.
Cara pandang tokoh-tokoh ICMI tentang peluang merangkul dan mewarnai Soeharto dengan kekuatan Islam bertolak belakang dengan cara berpikir Gus Dur. Gus Dur sebaliknya, Gus Dur melihat ini langkah mundur. Terutama bagi demokrasi dan gerakan civil society yang telah lama Gus Dur dan teman-temannya lakukan. Gus Dur melihat, bahwa kawin politik antara Orde Baru dan Islam formal hanya akan menguntungkan Orde Baru dan merugikan demokrasi. Posisi Soeharto yang mulai disoal, dikritik, digoyang dan digugat oleh kekuatan pro demokrasi akan mendapatkan energi baru. Islam akan melengkapi kekuatan politik lama Soeharto yang sebelumnya telah sukses menopang kekuasaan otoriter Soeharto, yaitu ABRI, Golkar dan birokrasi. Gus Dur melihat jauh ke depan. Jika Islam hanya dijadikan stempel kekuasaan, maka rakyat dan demokrasi yang akan kembali jadi korban kekuasaan otoriter Soeharto.
Sebagai tandingan pada gerakan formalisme Islam dengan pembentukan ICMI, Gus Dur Bersama para sahabatnya, seperti Adnan Buyung Nasution, Bondan Gunawan, Rahman Tolleng dan Marsilam Simanjuntak mendirikan Forum Demokrasi. Gus Dur melawan. Gus Dur mengirim pesan tegas, bahwa Islam tidak boleh dijadikan alat, Islam adalah ruh, bukan jasad yang dapat dipakai untuk kepentingan politik kekuasaan sesaat.
Atas keberanian Gus Dur ini, tuduhan pada Gus Dur semakin kencang. Fitnah bahwa Gus Dur anti Islam, Gus Dur pembuat onar dan semacamnya bertubi-tubi dilakukan oleh pemerintah dan Islam formal. Namun, Gus Dur sama sekali tak goyah. Gus Dur tetap tegak berdiri menjadi pilar demokrasi di Indonesia. Gus Dur tetap menyuarakan Islam substantif ala pesantren dan menolak formalism Islam.
Sekalipun saya masih belia, masih berada di bangku sekolah, tapi saya dapat menikmati setiap logika yang dibangun oleh Gus Dur dan teman-temanya di Fordem. Persinggungan saya dengan senior-senior santri yang telah berada di bangku kuliah, terutama mereka yang menjadi aktivis di IAINJ menjadikan saya dan teman-teman saya dengan mudah mengikuti alur berfikir Gus Dur. Tidak berhenti memahami dan mengerti, tapi pelan dan pasti kami menjadi pengikut setia Gus Dur. (Bersambung)
* Moh. Syaeful Bahar, Wakil Dekan III Fisip UIN Sunan Ampel dan Wakil Ketua PCNU Bondowoso.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |