TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Hajatan politik lima tahunan tinggal menghitung hari. Di Kabupaten Bondowoso dua pasangan calon akan berlaga merebut kemudi untuk menahkodai pemerintahan daerah yang akrab dikenal Kota Tape itu. Pusparagam buah pikir dan argumentasi dipaparkan. Visi-misi masing-masing pasangan pun terus dikampanyekan.
Semua ikhtiar itu bertujuan untuk menggalang dukungan dan meyakini masyarakat untuk menentukan pilihan. Salah satunya adalah gagasan dan road map di sektor pertanian. Tentu, narasi-narasi itu penting untuk menjadi pembahasan serius.
Musababnya, Kabupaten Bondowoso merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi di sektor pertanian. Sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani dengan mengelola lahan pribadi maupun bekerja sebagai buruh tani. Komoditas padi menjadi salah satu hasil pertanian yang tersebar di 13 kecamatan dari 23 kecamatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bondowoso tahun 2023 mencatat, produksi padi mencapai 247.779 ton dan meningkat dari tahun 2022, 238.678 ton. Kecamatan Pujer menjadi daerah dengan produksi terbanyak sebesar 43.019 ton. Sedangkan daerah dengan produktivitas tertinggi adalah Kecamatan Wonosari sebesar 6,48 ton/ha.
Secara angka dan data itu pertanian di Kabupaten Bondowoso mampu menjadi penopang bagi perekonomian daerah. Kondisi tersebut sejalan dengan visi Kabupaten Bondowoso yang tertuang ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2005 – 2025, “Mewujudkan Kabupaten Bondowoso Sebagai Kawasan Agribisnis Yang Maju, Religius, Adil dan Makmur”.
Namun apakah visi tersebut sudah mampu mensejahterakan masyarakat Kabupaten Bondowoso?
Pertanyaan di atas tentu tidak dapat dijawab dengan mudah. Pun tak bisa dijelaskan dengan catatan sumir semacam ini. Sebab permasalahan yang dihadapi petani sangat kompleks. Mulai dari terbatasnya sarana prasarana yang mendukung sektor pertanian, pupuk langka dan mahal, tata niaga hasil pertanian yang tak adil, hingga minimnya political will dari pemerintah.
Pelbagai persoalan tersebut tentu tidak akan pernah selesai bila tak segera diurai. Padahal dalam produksi pertanian dukungan fasilitas pertanian merupakan alat utama. Misalkan, pupuk yang berperan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Namun, kenyataannya, di akar rumput, petani masih kerapkali kebingungan mendapatkan pupuk. Pun misalkan ada, harganya mahal.
Semua mafhum bahwa persoalan pupuk merupakan masalah akut yang tidak hanya terjadi di Kabupaten Bondowoso. Investigasi Harian Kompas mengungkapkan bahwa program pupuk bersubsidi telah terjadi penyimpangan bahkan sejak awal perencanaan hingga penyaluran ke lapangan. Ada pihak-pihak yang diduga sengaja membuat data tidak akurat dalam penyusunan usulan alokasi pupuk.
Imbas dari permasalahan pupuk tersebut adalah membengkaknya biaya produksi petani. Padahal harga gabah kering giling cenderung tidak stabil. Di titik ini, petani kembali menghadapi masalah yang tak sepele. Sebab persoalan harga memang tergantung kepada tengkulak. Kondisi demikian membuat petani harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan hidup. Termasuk mencari pekerjaan sampingan.
Terlebih, di Kabupaten Bondowoso mayoritas petani merupakan petani gurem. Bahkan Hasil Sensus Pertanian Tahun 2023, jumlah petani gurem 130.801, atau 81,71 persen dari total petani. Artinya, bila mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 4 Tahun 2014 petani gurem adalah petani yang menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare.
Fluktuasi harga adalah masalah berikutnya yang dialami petani. Di Kabupaten Bondowoso, petani menjual gabahnya ke tengkulak yang kemudian dipasok ke industry. Rantai pasok yang panjang membuat harga di petani semakin murah. Penelusuran Harian Kompas menemukan bahwa rantai pasok gabah petani dikuasai jaringan perantara secara berjenjang. Setidaknya distribusi gabah melalui empat hingga lima pihak sebelum masuk ke penggilingan padi. Kondisi ini menyulitkan petani.
Namun, akar masalahnya, bila ditelisik lebih jauh adalah tidak tersedianya alternatif pasar. Di titik ini, seyogyanya, pemerintah daerah mampu menjadi wasilah antara produsen (petani) dan konsumen (masyarakat & industry). Pasalnya, beberapa tengkulak dan pengepul di Kabupaten Bondowoso justru menjual hasil panen petani ke luar Bondowoso. Alasannya cukup realistis: harga lebih mahal dan teknologi memadai.
Sedangkan, keberadaan Bulog di Kabupaten Bondowoso tak menjadi solusi dan cenderung membeli gabah petani dengan harga yang lebih murah. Padahal, seyogyanya, Bulog bisa menjadi alternatif pasar bagi petani dan berperan untuk mengatasi sengkarut tata niaga padi.
Di titik itu, perhatian dan peran pemerintah merupakan hal yang penting dalam merumuskan dan menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Pasalnya, petani yang merupakan tokoh utama dalam menjaga ketahanan pangan justru kondisinya tertinggal dan menderita.
Seperti kata Vails (2004) yang dikutip dalam catatan Rafnel Azhari di Koran Tempo, kemalangan petani dan pertanian sudah terjadi sejak pertanian muncul dalam peradaban. Kemunculan pertanian menjadi fase paling penting dalam perkembangan peradaban manusia.
Namun, petani justru menjadi budak bagi peradaban yang telah dilahirkannya. Petani terus diperah untuk melayani peradaban. Sebagai aktor utama hasil pangan, petani justru terus tertinggal dan menderita dalam deru kemajuan peradaban.
Ikhtiar untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan menciptakan ekosistem pertanian yang berkelanjutan perlu sinergi berbagai pihak. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, mulai pemberdayaan petani, pengembangan pasar, perlindungan lahan hingga inovasi pertanian. Sebenarnya, upaya itu sudah tertera dalam berbagai regulasi. Namun, implementasinya masih perlu terus digalakkan.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah mengamanatkan bahwa petani perlu mendapatkan perlindungan secara optimal dalam menghadapi permasalahan. Mulai dari memperoleh sarana prasarana produksi, kepastian usaha, resiko harga, kegagalan panen, praktek ekonomi biaya tinggi dan perubahan iklim.
Pemerintah daerah bisa berperan melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, hingga penguatan kelembagaan pertanian. Dan tentu, ikhtiar-ikhtiar tersebut harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Sebab, tujuan akhir dari semua upaya tersebut, masyarakat mampu berdaya mandiri dan berhasil menciptakan ekosistem pertanian yang berkelanjutan, seperti yang menjadi salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).
Dan, salah satu cara untuk mewujudkan harapan-harapan itu bisa dimulai dengan mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Hanya saja, faktanya, BUMDes di Kabupaten Bondowoso bak mati suri. Ada wujudnya tapi entah perannya. Bahkan, dari 209 desa hanya ada 43 BUMDes yang aktif.
Keadaan ini menjadi pekerjaan rumah yang tak remeh. Menghidupkan dan mengoptimalkan BUMDes bukan proses yang sederhana. Namun itu bukan sesuatu yang mustahil. Terlebih Astacita Prabowo-Gibran yang salah satu dari delapan program unggulannya adalah membangun dari desa.
Membangun dari desa untuk pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, merupakan salah satu ikhtiar untuk memutus mata rantai kemiskinan. Sekaligus menjadi upaya untuk pemberdayaan dan kemandirian masyarakat lokal.
Di samping itu, BUMDes bisa menjadi lokomotif perubahan-perubahan di Kabupaten Bondowoso. BUMDes mampu menjadi salah satu jembatan dan etalase pemasaran; menjadi kios pupuk; menjadi wadah pendidikan, pelatihan, hingga pemberdayaan masyarakat dengan teknologi mutakhir; menjadi tempat terciptanya inovasi-inovasi; atau menjadi pemantik ide-ide kreatif produk olahan; bahkan bukan mustahil, BUMDes mampu menjadi lembaga yang dikelola secara kooperasi.
Tentu harapan-harapan itu tak semuda membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu, yang patut dipikirkan adalah bagaimana mewujudkan BUMDes yang mandiri dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat desa. Merancang strategi yang tepat yang mesti berangkat dari kajian menyeluruh yang dilakukan pemerintah. Mulai dari akar masalah hingga resep mujarab. Termasuk memikirkan menciptakan BUMDes sebagai institusi yang inklusif.
Bukan hanya dengan melegalkan BUMDes menjadi berbadan hukum. Atau tak bisa begitu saja mengucurkan dana. Musababnya, ini bukan hanya perkara dana atau legal-legalan. Gagasan itu merupakan konsekuensi logis. Harusnya, perbincangan BUMDes lebih dari itu.
Ada beberapa contoh desa yang “berhasil” memaksimalkan peran BUMDes. Misal, BUMDes Beras di Desa Purwosari Kabupaten Pasuruan atau BUMDes Au Wula di Desa Detusoko Barat, Ende, Nusa Tenggara Timur.
Pemerintah daerah berperan juga untuk menjembatani produk-produk BUMDes ke pasar yang lebih luas. Added value menjadi kata kunci yang tak kalah penting. Persoalan-persoalan yang sudah disinggung di muka, akan mampu teratasi bila solusi hulu hingga hilir dipikirkan.
Sudah saatnya, Kabupaten Bondowoso dinahkodai oleh pemimpin dengan gagasan-gagasan besar, holistik, dan tidak parsial. Saatnya, petani di Kabupaten Bondowoso bergerak dari logika agraris ke logika agribisnis. Pemerintah memainkan peran yang signifikan untuk mewujudkannya. Dan, ekosistem pertanian yang berkelanjutan adalah harapan jangka panjang.
Tentu upaya sistematis itu harapannya mampu mentransformasi sektor pangan dan mengeluarkan petani dari lumpur kemiskinan. Sebab, kata Bung Karno, pertanian adalah soal hidup atau mati suatu bangsa. Posisinya amat strategis, bukan hanya dalam konteks ekonomi dan sosial, tapi juga untuk membangun ketahanan nasional.
Kita semua ingin mayoritas masyarakat di Kabupaten Bondowoso sejahtera. Semua itu dimulai dengan pasangan calon yang memiliki visi-misi yang jelas dan komitmen yang tegas. Bila tidak, kita semua akan menangguk kerugian besar di tahun-tahun berikutnya.
Sebab, kita harus sadari bahwa Rahmad Allah telah membuat Kabupaten Bondowoso berkah dengan potensi sumber daya alam yang melimpah. Itu sebabnya, jangan sampai salah memilih nahkoda. Harapannya, isu pertanian di Kabupaten Bondowoso memasuki babak baru, sebuah babak yang happy ending bagi masyarakat, wabil khusus petani.
***
*) Oleh : Uswatun Hasanah, Magister Manajemen Agribisnis Universitas Gadjah Mada.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Pilkada Bondowoso 2024: Menanti Babak Baru Sektor Pertanian
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |