TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Pernahkah kita melihat siswa yang memilih diam meskipun tahu jawabannya? Atau mereka yang lebih sering menghindar saat diminta mengemukakan pendapat? Ini bukan soal tidak bisa, melainkan takut salah. Takut ditertawakan. Takut mendapat nilai jelek.
Sayangnya, budaya ini masih hidup di banyak ruang kelas kita. Padahal, sekolah seharusnya bukan tempat yang membuat anak takut salah. Sekolah semestinya menjadi ruang aman untuk tumbuh. Tempat di mana salah adalah bagian dari belajar, bukan akhir dari segalanya.
Ketika anak merasa salah adalah aib, maka ia akan berhenti mencoba. Ketika kegagalan dianggap dosa, maka belajar menjadi beban. Inilah yang membuat banyak peserta didik kehilangan daya juang.
Mereka menghindari tantangan, merasa tidak mampu, dan lebih fokus pada hasil daripada proses. Maka untuk melawan budaya takut salah ini, kita perlu kembali ke akar. Cara kita memandang belajar, cara kita memaknai kemampuan, dan cara kita menumbuhkan pola pikir dalam diri siswa.
Pendidikan yang sehat tidak membesarkan anak-anak yang hanya takut gagal. Pendidikan yang sehat membentuk manusia-manusia yang tangguh. Yang tahu bahwa tidak apa-apa untuk keliru, asal mau belajar darinya.
Di sinilah pola pikir bertumbuh (growth mindset) menjadi kunci. Pola pikir bertumbuh adalah keyakinan bahwa kemampuan bisa dikembangkan. Bahwa kegagalan bukan tanda kebodohan, melainkan batu loncatan menuju pemahaman. Ini berbanding terbalik dengan pola pikir tetap (fixed mindset), yang membuat seseorang merasa cerdas itu bawaan, dan salah itu memalukan.
Dalam ruang kelas yang menghidupi pola pikir bertumbuh, siswa tidak takut salah. Mereka justru berani bertanya, berani mencoba strategi baru, dan bersedia menerima umpan balik. Dan semua ini hanya bisa tumbuh dalam pembelajaran yang mendalam, bukan pembelajaran yang sekadar mengejar benar atau salah.
Pembelajaran mendalam adalah pendekatan yang menjadikan siswa subjek utama belajar. Mereka tidak hanya diminta mengingat, tapi diajak memahami, mengaplikasikan, dan merefleksi.
Pembelajaran dijalankan dengan prinsip yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan. Ketika siswa sadar mengapa mereka belajar, memahami keterkaitannya dengan kehidupan nyata, dan merasa prosesnya menggembirakan, maka motivasi intrinsik akan tumbuh, dan rasa takut salah pun mulai terkikis.
Namun, budaya takut salah sering kali dipelihara secara tidak sadar oleh cara kita melakukan asesmen. Ketika asesmen hanya berfungsi menghakimi, maka siswa belajar untuk menghindari risiko.
Mereka hanya ingin benar. Tidak ingin mencoba sesuatu yang belum pasti. Di sinilah kita perlu menggeser peran asesmen menjadi alat pertumbuhan, bukan sekadar pengukur hasil.
Ada tiga pendekatan asesmen yang perlu kita maknai ulang: assessment for learning, assessment as learning, dan assessment of learning. Pertama, asesmen untuk belajar, dilakukan selama proses berlangsung untuk membantu guru memberi dukungan yang tepat.
Kedua, asesmen sebagai proses belajar, menempatkan siswa sebagai aktor yang menilai, merefleksi, dan memperbaiki proses belajarnya. Inilah saat di mana siswa benar-benar tumbuh.
Ketiga, asesmen terhadap hasil belajar, tetap penting, tetapi bukan satu-satunya ukuran keberhasilan.
Dengan asesmen yang berpihak pada pertumbuhan, maka kesalahan tak lagi ditakuti. Umpan balik bukan hukuman, tetapi cahaya penunjuk arah. Guru tidak lagi menjadi hakim, tetapi sahabat belajar. Dan siswa tak lagi belajar untuk sekadar dapat nilai bagus, tetapi untuk menjadi lebih baik dari dirinya yang kemarin.
Jika kita ingin membentuk generasi yang berani mengambil risiko, yang tahan banting saat gagal, dan yang mampu belajar dari kesalahan, maka kita harus menciptakan sekolah yang aman. Aman secara psikologis. Aman untuk gagal. Aman untuk bertanya. Aman untuk bereksperimen. Karena sekali lagi: sekolah bukan tempat takut salah.
Kita semua guru, kepala sekolah, orang tua, dan pengambil kebijakan punya peran besar dalam mengubah wajah pendidikan ini. Dimulai dari cara kita berbicara kepada siswa. Dari cara kita merespons kesalahan mereka. Dari cara kita memberi nilai dan pujian. Apakah kita membesarkan rasa ingin tahu, atau menumbuhkan rasa takut gagal?
Sudah waktunya sekolah menjadi ruang yang menghidupkan. Tempat di mana anak merasa diterima dalam ketidaksempurnaannya, didampingi dalam pencariannya, dan dihargai atas usahanya. Karena belajar sejati bukan tentang tidak pernah salah, tetapi tentang berani salah demi menjadi lebih baik.
***
*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |