TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Fenomena dualisme kepemimpinan kembali mewarnai tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pasca Muktamar X 2025. Dua tokoh, Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim sebagai Ketua Umum periode 2025–2030.
Kubu Mardiono mendasarkan klaim pada ketukan palu pimpinan sidang Amir Uskara, sementara kubu Agus Suparmanto menyatakan dirinya terpilih secara aklamasi setelah Mardiono disebut meninggalkan arena muktamar, sehingga Agus menjadi kandidat tunggal.
Situasi ini menimbulkan kebingungan publik mengenai siapa yang sah memimpin Partai Berlambang Kabah tersebut.
Akademisi UIN KHAS Jember (Universitas IsIam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq), Basuki Kurniawan menjelaskan tentang kedudukan hukum atas klaim ganda kepemimpinan, serta mekanisme penyelesaian apa yang sesuai dengan hukum partai politik serta hukum positif Indonesia.
Menurutnya, berdasarkan UUD 1945 Pasal 28E ayat (3), menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat secara damai.
Sementara UU No. 2 Tahun 2008 jo. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, Pasal 32 ayat (1) bahwa perselisihan partai politik diselesaikan oleh internal partai sesuai AD/ART.
“Pasal 32 ayat (2), penyelesaian dilakukan oleh Mahkamah Partai Politik,” kata dia saat dikonfirmasi, Rabu (1/10/2025).
Adapun di Pasal 33 kata dia, jika penyelesaian tidak tercapai, perselisihan dapat diajukan ke pengadilan negeri; putusannya bersifat final di tingkat pertama dan terakhir, dengan opsi kasasi ke Mahkamah Agung.
“Permenkumham RI No. 34 Tahun 2017 mengatur tata cara pendaftaran dan verifikasi dokumen kepengurusan partai politik,” paparnya.
Pria yang juga Direktur Pusat Studi Hukum Pancasila dan Konstitusi (PUSHPASI) itu menjelaskan, dualisme PPP pasca Muktamar X merupakan sengketa internal partai yang seharusnya terlebih dahulu diselesaikan melalui Mahkamah Partai PPP.
Menurutnya, Kedua kubu sama-sama lemah secara prosedural. Kubu Mardiono dinilai terburu-buru mengesahkan kepemimpinan sebelum sidang selesai.
Sementara Kubu Agus Suparmanto melanjutkan sidang dengan pimpinan sidang alternatif tanpa legitimasi kuat.
Karena itu, Mahkamah Partai menjadi forum utama untuk menilai keabsahan hasil muktamar.
Hingga saat ini lanjut dia, Kementerian Hukum belum mengeluarkan SK pengesahan kepengurusan. Kemenkum hanya dapat mengesahkan kepengurusan yang memenuhi syarat formal berdasarkan AD/ART dan hasil muktamar yang sah.
“Jika pemerintah terburu-buru mengesahkan salah satu kubu, sengketa justru akan berlanjut ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), untuk menentukan siapa Ketua Umum yang sah secara hukum,”paparnya.
Ia menyimpulkan, dualisme kepemimpinan PPP pasca Muktamar X 2025 merupakan sengketa internal partai politik yang wajib diselesaikan melalui mekanisme hukum sebagaimana diatur Pasal 32 UU Partai Politik, yakni melalui Mahkamah Partai.
Keabsahan Ketua Umum PPP tetap bergantung pada putusan Mahkamah Partai, dan bisa berlanjut bersengketa di PTUN apabila Kementerian hukum mengeluarkan SK siapa kubu yang sah sebagai Ketum Partai Persatuan Pembangunan. Hingga saat ini, secara hukum belum ada kepemimpinan PPP yang sah.
“Oleh karena itu, Kemenkum sebaiknya tidak terburu-buru mengesahkan salah satu kepengurusan, sebelum ada hasil yang legitimate dari Mahkamah Partai, islah (rekonsiliasi politik), atau bahkan opsi muktamar ulang,” pungkasnya.(*)
Pewarta | : Moh Bahri |
Editor | : Imadudin Muhammad |