TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Penetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Bondowoso 2026 yang kembali masuk jajaran terendah ketiga di Jawa Timur menuai kritik dari kalangan akademisi. Di balik hubungan industrial yang relatif tenang tanpa aksi penolakan, daya beli pekerja justru dinilai stagnan dan berpotensi makin tertinggal dibanding daerah lain.
Dosen Ekonomi Universitas Jember, Dr. Moehammad Fathorrozi menyebut, kondisi ini sebagai sebuah paradoks. Menurutnya, Bondowoso memang berhasil menjaga keharmonisan antara buruh, pengusaha, dan pemerintah daerah.
Menurutnya, tidak ada perbedaan usulan UMK sebagaimana terjadi di sejumlah daerah lain. Namun, stabilitas tersebut tidak serta-merta mencerminkan peningkatan kesejahteraan pekerja.
“Dari sisi hubungan industrial ini sukses, tapi kalau bicara kesejahteraan buruh, jujur saja, tidak ada kemajuan berarti,” tegasnya.
Selama ini, Bondowoso dikenal menerapkan strategi upah rendah sebagai daya tarik investasi. Kebijakan itu dinilai efektif menciptakan iklim usaha yang kompetitif karena menekan beban biaya perusahaan.
Namun Fathorrozi menilai, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tidak otomatis dinikmati pekerja.
Ia mencontohkan klaim pertumbuhan ekonomi Bondowoso yang mencapai 6 persen pada triwulan ketiga 2025. Angka tersebut kerap dijadikan bukti keberhasilan strategi menarik modal.
Sayangnya kata dia, kenaikan tersebut tidak diikuti dengan tuntutan peningkatan upah yang sepadan.
“Dalam teori ekonomi, ketika ekonomi tumbuh, buruh wajar menuntut kenaikan upah riil. Itu yang disebut no money illusion. Tapi di Bondowoso, hal itu tidak terjadi,” ujarnya.
Faktanya, serikat pekerja, pengusaha, dan pemerintah daerah sepakat mengajukan satu angka UMK ke Pemprov Jawa Timur tanpa dinamika tuntutan berarti.
Bukan karena upah sudah mencukupi, melainkan karena buruh merasa kondisi tersebut masih bisa diterima.
Situasi ini, menurut dia, justru mencerminkan fenomena money illusion, yakni rasa cukup semu di tengah daya beli yang sesungguhnya tertekan.
Ia mengingatkan, UMK memiliki dua sisi. Jika terlalu tinggi dapat memicu pengangguran, namun jika terlalu rendah justru menggerus daya beli dan memunculkan kemiskinan struktural dalam jangka panjang.
“UMK yang rendah terus-menerus bisa membuat angka kemiskinan tampak turun, tetapi kesejahteraan buruh tidak bergerak. Itu bukan solusi, hanya menunda masalah,” katanya.
Fathorrozi menegaskan, iklim investasi yang kondusif seharusnya tidak dibangun dengan mengorbankan buruh.
Jika tidak ada keseimbangan, Bondowoso berisiko hanya dikenal sebagai daerah ramah modal, tetapi gagal menjadi tempat hidup yang layak bagi tenaga kerjanya.(*)
| Pewarta | : Moh Bahri |
| Editor | : Imadudin Muhammad |