TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Banyak sekali teman, kolega, kader, teman-teman pengurus NU, bahkan beberapa orang kiai yang meminta saya untuk menulis tentang Pilkada, terutama Pilkada di Bondowoso. Awalnya saya enggan, saya menahan diri untuk tidak menulisnya.
Berbagai alasan menjadi tembok penghalang saya untuk tidak menulis, misalnya, dan ini yang paling utama, saya ingin menjaga posisi saya untuk tetap netral, tetap seperti kebanyakan akademisi. Saya berusaha tetap menjaga jarak dengan semua kepentingan politik praktis.
Namun, karena berbagai pertimbangan, dan tentu juga karena masukan beberapa teman di kampus, karena panggilan tanggungjawab, karena desakan untuk berbuat dan ikut menyelamatkan demokrasi di tingkat lokal, akhirnya saya putuskan untuk menulis. Bahkan saya akan menulis dengan berseri. Saya akan membuat tulisan secara berseri dan berkala. Menulis seputar Pilkada. Hingga tanggal 27 November 2024, atau bahkan setelah Pilkada dilaksanakan, saya akan tetap menulis tentang Pilkada.
Saya akan terus menumpahkan pikiran-pikiran saya, ide-ide saya, saya akan terus menulis. Saya akan terus menyuarakan konsep ideal, tentang demokrasi, tentang partisipasi, tentang Pemilu yang berkualitas, tentang kriteria calon kepala daerah yang ideal, tentang perilaku pemilih, tentang partai politik, tentang tanggungjawab NU dan Muhammadiyah, tentang positioning kiai dan tokoh agama serta tentang berbagai bahaya yang mengintai rusaknya demokrasi lokal.
Tulisan ini adalah tulisan pertama. Sengaja saya memulai dengan tema yang menakutkan. Tema yang banyak diperbincangkan dan dikhawatirkan banyak orang. Saya akan menulis tentang money politic. Tentang realitas money politic dan daya hancurnya pada sendi-sendi demokrasi kita, serta tentang bagaimana kita melawan praktik money politic di tengah-tengah masyarakat.
Pemilu dan Money Politic di Indonesia
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Burhanuddin Muhtadi, di tahun 2014 dan tidak banyak berubah di tahun 2019, terdapat 33,1 persen dari jumlah masyarakat Indonesia yang mengaku terlibat dalam politik uang.
Angka 33,1 persen ini, jika dikonversi dalam angka, sekitar 60 hingga 70 juta dari jumlah data pemilih tetap di Indonesia. Bukan angka yang sedikit, tapi banyak, sangat banyak.
Maraknya politik uang ini, sungguh mengkhawatirkan. Relasi antara politisi dengan masyarakat tidak lagi terjalin dalam hubungan relasional yang berjangka panjang, atas dasar saling membutuhkan, saling percaya, saling menopang dan saling menitipkan masa depan.
Hubungan yang menempatkan posisi politisi yang sejajar dengan masyarakat. Hubungan yang didasarkan pada konsep saling membutuhkan. Politisi butuh dukungan masyarakat dan masyarakat butuh partai politik dan politisi untuk menitipkan harapan dan kehendaknya.
Seharusnya, dengan pola hubungan yang relasional ini, hubungan atas dasar saling percaya ini, maka semua program, isu politik hingga janji politik para politisi pasti didasarkan pada suara rakyat, pada kebutuhan dan problematika yang nyata ada di masyarakat.
Karena itu, dalam konsep hubungan yang ideal ini, aktor politik, baik partai politik maupun politisi harus membuka diri, menyerap aspirasi dan pandai mendengarkan keluhan, kebutuhan dan kemauan masyarakat.
Masalahnya, konsep ideal di atas, tak mungkin akan terwujud ketika hubungan antara politisi dan masyarakat terjalin secara instan, one-off interaction. Kapan hubungan tak ideal ini terjadi? Ketika hubungan politisi dan masyarakat terjadi secara transaksional.
Ketika masyarakat memilih bukan karena trust, kesamaan nilai, kesamaan ide, kesamaan perjuangan dan kesamaan ideologi namun hanya karena rupiah semata, karena politik uang. Karena suara mereka ditukar dengan imbalan langsung. Imbalan tersebut dapat berupa uang, beras dan telor.
Ironisnya, praktik politik uang ini, tidak hanya marak terjadi ketika Pemilu nasional, seperti Pileg atau Pilpres, namun juga terjadi dalam konteks Pilkada, dalam konteks politik local. Baik Pilkada gubernur maupun Pilkada bupati/wali kota.
Hampir semua calon kepala daerah telah menghitung kebutuhan money politic ini dalam kebutuhan dan strategi pemenangan mereka. Bahkan, sebagian besar calon kepala daerah memiliki keyakinan, tanpa politik uang, tak mungkin mereka keluar sebagai pemenang.
Hanya segelintir calon kepala daerah saja yang bertahan dengan konsep ideal, menolak politik uang. Biasanya, mereka yang menolak adalah kelompok politisi yang memiliki moral force yang kokoh serta memiliki dukungan politik-social yang kuat.
Dalam kajian politik local, terutama yang menfokuskan pada kajian politik uang , telah disimpulkan bahwa praktik politik uang akan dilakukan dengan berbagai strategi dan tahapan. Banyak kajian yang secara faktual, berdasar data lapangan yang memiliki kesimpulan yang berbeda terkait strategi dan tahapan praktik politik uang ini, namun, dari semua kajian tersebut, hampir semua menyimpulkan kesimpulan yang sama.
Kesimpulan tersebut berkaitan dengan pelaku politik uang. Para politisi yang melakukan money politic. Kesimpulan yang tak berbeda tersebut adalah bahwa politik uang hanya akan dilakukan oleh sekelompok politisi yang tak memiliki integritas, tak memiliki komitmen yang kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi.
Politisi ini hanya berfikir tentang kekuasaan semata, dan biasanya, mereka yang tertarik untuk melakukan politik uang, adalah politisi yang tak punya kapasitas, tak punya kualitas, tak punya modal sosial dan modal politik serta tak memiliki kepercayaan diri yang cukup, sehingga, untuk menutupi semua kelemahannya, dia harus melakukan kejahatan dalam Pemilu, yaitu money politic.
Berbagai cara dan strategi dilakukan oleh politisi untuk melakukan money politic. Paling sederhana, mereka akan membuat tim yang bertugas mendekati dan membuat janji transaksi dengan masyarakat.
Transaksi bisa dilakukan secara terbuka, biasanya dibungkus dengan acara bakti sosial, atau secara senyap, dor to dor. Tahapan pun telah dirancang dengan rapi. Tahap pertama adalah tahap canvasing yang disertai dengan pemberian uang, beras atau telor. Tahap pertama ini, selain langkah untuk menaikkan popularitas, juga merupakan transaksi awal atas kesepakatan jahat money politic.
Setelah langkah pertama selesai, biasanya, akan beruntun ada tahapan berikutnya. Paling akhir, tahapan ini berupa serangan fajar, yaitu pemberian uang, beras atau telor di hari menjelang pelaksanaan Pilkada.
Semua tahapan money politic ini, tujuan utamanya adalah melakukan intervensi pada pilihan masyarakat. Mengarahkan dan mengubah pilihan masyarakat. Bahkan, kadang disertai dengan teror yang mengancam keselamatan masyarakat.
Hal yang menarik untuk didiskusikan dan diberi catatan tebal, terkait money politic ini adalah besaran uang yang dibutuhkan dan dari mana uang tersebut datangnya.
Seandainya pemilih di sebuah kabupaten kota sejumlah 700.000 pemilih, maka, semua politisi kotor akan menghitung, paling tidak 50 persen masyarakat yang akan dipilih sebagai “korban” operasi politik uang. Jika saja tiap kepala diberi 50.000, di tiap tahapan, maka paling sedikit butuh 17 miliar dari tiap tahap. Jika dihitung dua tahap saja, maka paling sedikit ada 34 miliar yang dibutuhkan untuk melakukan money politic.
Bukan angka yang sedikit, sangat banyak. Karena sangat banyak, maka kesimpulannya, tak mungkin uang tersebut bersumber dari pribadi calon kepala daerah. Kemungkinan paling besar adalah uang pinjaman dari para cukong. Para pemodal yang berharap kembalian lebih besar dari dana yang dipinjamkan.
Bahaya Money Politic
Dari hubungan gelap ini, hubungan politisi dengan para cukong ini, petaka itu datang. Dari dana pinjaman ini, APBD sebuah kabupaten/kota akan dihisap habis untuk mengembalikan pinjaman para cukong. Kepala daerah terpilih tak punya lagi kuasa atas APBD yang akan dikelola. Kepala daerah tersebut telah tersandera oleh kontrak yang dibuat antara dirinya dan pemodal tadi.
Korbannya adalah rakyat. Rakyat tak akan bisa menikmati pembangunan, karena semua program pemerintah tak akan lagi berorientasi pada kesejahteraan rakyat tapi lebih pada mengembalikan modal pada para cukong.
Masalahnya, para cukong ini, biasanya tidak berhenti untuk sekadar menerima kembalian dalam jumlah yang lebih besar, tapi mereka akan intervensi pada prioritas program pemerintah. Program prioritas bukan lagi berdasar pada kebutuhan masyarakat tapi pada keuntungan terbesar yang akan para cukong dapatkan.
Karena orientasi bupati terpilih adalah mengembalikan modal yang dipinjam dari para cukong, maka, tidak ada gunanya Musrembangda yang dilakukan, tidak ada gunanya serap aspirasi dan bahkan, kadang, para bupati yang dikendalikan oleh para cukong ini tega melakukan mega korupsi untuk sekadar segera menutup hitung yang kadung menjerat mereka.
Akhirnya, pilihan kembali ke rakyat. Mau jadi pemilih cerdas, dengan memilih pemimpin yang berintegritas atau memilih pemimpin culas yang telah sudi melakukan transaksi politik dengan para pemodal, para cukong yang akan datang menghisap dan merampok APBD hingga tak tersisa untuk rakyat.
Maka, cara terampuh untuk melawan politik uang, melawan politisi busuk dan para cukong adalah perlawanan rakyat, rakyat harus melawan, rakyat harus menjadi pemilih cerdas dan partisipatif. Rakyat harus menolak uang, beras dan telor demi harga diri mereka, demi masa depan mereka.
Rakyat harus berani melaporkan jika terdapat praktik politik uang. Atau, jika tak berani, maka pilihan terakhirnya adalah ambil uangnya tapi jangan pilih orangnya.
***
*) Oleh : Moh. Syaeful Bahar, Wakil Ketua PCNU Bondowoso.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |