https://bondowoso.times.co.id/
Opini

Alam Mengutuk Harga Moral dari Manusia

Sabtu, 06 Desember 2025 - 16:06
Alam Mengutuk Harga Moral dari Manusia Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.

TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Bencana yang melanda negeri ini bukan lagi sekadar gejala alamiah yang terjadi “begitu saja”. Ketika banjir, tanah longsor, kekeringan ekstrem, hingga badai terjadi hampir di setiap wilayah, kita tidak bisa hanya menyalahkan cuaca atau geologi.

Ada sesuatu yang lebih dalam: sebuah krisis etika yang sedang ditampakkan alam kepada manusia. Para pemikir lingkungan Islam seperti Fazlun Khalid menyebut bahwa “kerusakan ekologi modern lahir dari “hilangnya adab manusia terhadap bumi”. 

Ketika manusia tidak lagi melihat alam sebagai amanah, tetapi sebagai objek keuntungan, maka yang muncul bukan keberkahan, melainkan kerusakan yang berulang dan berlapis. Dalam bahasa Qur’an, kerusakan di darat dan laut adalah “buah dari tangan manusia sendiri” buah pahit dari pilihan moral yang salah.

Kita hidup dalam zaman ketika eksploitasi menjadi budaya. Hutan ditebang tanpa batas, tanah dikeruk tanpa jeda, sungai dijadikan tempat pembuangan, dan laut diperas habis-habisan. 

Mereka yang diberi kelebihan modal dan kekuasaan sering kali lupa bahwa kelebihan itu bukan hak absolut, tetapi amanah yang mengandung hak-hak orang lain. Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa harta atau kekuasaan yang tidak digunakan untuk kebaikan akan “berubah menjadi ujian yang menimpa pemiliknya”. 

Ketika kita membiarkan sebagian orang merusak alam demi keuntungan sesaat, tanpa memikirkan generasi depan, maka kita sendiri sedang menanam bibit bencana. Di titik ini, bencana bukan sekadar gejala fisik; ia adalah “kutukan moral” atas rakusnya manusia kutukan yang lahir dari ketidakadilan ekologis dan kezaliman sosial yang dibiarkan tumbuh.

Di balik semua itu, kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian besar kerusakan terjadi bukan hanya karena rakyat kecil, tetapi karena keputusan para pemangku kebijakan yang lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek dibanding keselamatan bangsa. 

Otoritas yang semestinya menjadi penjaga amanah justru sering memberikan izin eksploitasi kepada para pemodal, meski tahu betul risikonya bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat. Ini adalah bentuk kezaliman struktural yang jauh lebih berbahaya: kezaliman yang dilegalkan. 

Dalam perspektif moral Islam, pemimpin yang abai terhadap kerusakan disebut sebagai khainul amanah pengkhianat amanah karena membiarkan bumi yang dititipkan Allah hancur di bawah kekuasaannya. 

Maka jika bencana datang bertubi-tubi, ia bukan hanya menimpa pelaku langsung, tetapi juga mereka yang seharusnya melindungi namun memilih diam, memalingkan muka, atau bahkan turut menikmati keuntungan dari eksploitasi tersebut.

Para ulama seperti Syekh Ali Jum’ah menyebut bahwa alam memiliki “bahasa teguran” yang bekerja melalui sebab-akibat yang diatur Allah. Ketika keseimbangan ekologi dihancurkan, maka alam akan menuntut kembali hak-haknya. Bukan karena alam pendendam, tetapi karena hukum Tuhan itu pasti: setiap kezaliman akan kembali kepada pelakunya. 

Bencana yang datang bertubi-tubi adalah semacam koreksi keras atas kesalahan kolektif yang kita abaikan terlalu lama. Dalam perspektif sufistik, Ibn ‘Aṭa’illah mengingatkan bahwa sesuatu yang disalahgunakan akan kembali “memukul hati dan kehidupan pemiliknya”. Maka, ketika alam seolah mengamuk, sebenarnya yang sedang terjadi adalah realitas spiritual: alam sedang memantulkan kondisi batin manusia yang rusak.

Meski kutukan itu terasa nyata, jalan pulang masih terbuka. Bumi belum sepenuhnya menutup pintu maafnya; ia masih memberi tanda, peringatan, dan peluang untuk memperbaiki diri. 

Dalam ajaran Islam, taubat ekologis bukan hanya kembali kepada Allah secara spiritual, tetapi juga mengubah perilaku sosial dan politik: menghentikan eksploitasi, memperbaiki tata kelola lingkungan, memutus aliansi dengan kerakusan, dan menghidupkan kembali etika sebagai pusat tindakan. 

Kita harus kembali pada adab sebagai khalifah, sebagaimana dikatakan Prof. Quraish Shihab: menjaga, mengatur dengan baik, dan tidak membuat kerusakan.

Namun tantangan terbesar zaman ini adalah hilangnya kemampuan manusia untuk merenung. Segala sesuatu ingin diselesaikan secara cepat, instan, dan tanpa proses batin. Padahal bencana ekologis tidak mungkin diselesaikan dengan “bim salabim” atau solusi teknis semata. 

Yang rusak bukan hanya alam, tetapi juga kesadaran moral manusia. Karena itu, jalan pulang memerlukan taubat yang sungguh-sungguh: kembali menahan diri, merendahkan ego, memperlambat langkah, dan menghidupkan kembali kepekaan terhadap tanda-tanda Tuhan. 

Selama manusia masih mau kembali melalui proses batin yang jernih, alam pun masih mungkin pulih. Tetapi bila manusia terus hidup dalam keinstanan mental tanpa perenungan, maka bencana hanya akan menjadi lebih besar dari waktu ke waktu.

Bencana-bencana ini pada hakikatnya bukan kehancuran total, melainkan panggilan sadar. Alam sedang berkata: “berhentilah, atau kalian akan binasa oleh ulah kalian sendiri.” Teguran ini keras, tetapi tidak tanpa kasih. 

Allah memperlihatkan sebagian akibat perbuatan manusia “agar mereka kembali” bukan agar mereka putus asa. Yang dibutuhkan sekarang hanyalah dua hal: kesadaran dan keberanian untuk berubah. 

Selama manusia masih bersedia kembali kepada adab kekhalifahan, alam masih bisa dipulihkan, dan kutukan masih bisa menjadi rahmat. Jika kita terus membiarkan kerakusan menguasai, maka bumi hanya tinggal menjalankan hukum Allah: mengembalikan segala kezaliman kepada para pelakunya. (*)

***

*) Oleh : Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bondowoso just now

Welcome to TIMES Bondowoso

TIMES Bondowoso is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.