https://bondowoso.times.co.id/
Opini

Mengukur Mentalitas Alumni Guru Penggerak

Kamis, 26 Juni 2025 - 12:34
Mengukur Mentalitas Alumni Guru Penggerak Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis.

TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Perubahan merupakan wajah asli dunia pendidikan Indonesia. Setiap kali terjadi pergantian pejabat atau menteri, arah kebijakan seolah harus dikemas ulang. Dari nama program, metode seleksi, hingga istilah-istilah kunci yang diganti agar terdengar segar. 

Namun, yang sering luput dari perhatian adalah bagaimana respons para aktor utama pendidikan, khususnya alumni Program Guru Penggerak (PGP), dalam menyikapi perubahan tersebut.

Di tengah semangat perubahan yang hadir dengan istilah baru, kritik pun bermunculan. Salah satu yang menarik perhatian muncul dalam bentuk meme berjudul “Menu Hari Ini: NAD Cream vs MUG Tea”. 

Meme ini menggambarkan dikotomi ekstrem antara dua kubu kebijakan, seperti kaum muda vs kaum tua, selera gaul vs jadul, rasa milenial vs kolonial, orientasi visioner vs imajiner, seleksi berbasis prestasi vs birokrasi, hingga sesaji berupa inovasi vs Innova 1. 

Meme ini jelas menyindir kebijakan baru dengan nada tajam, seolah ingin menunjukkan bahwa apa yang dulu diperjuangkan oleh alumni PGP kini sedang dikikis dan digantikan sesuatu yang tidak lebih baik.

Lucu? Mungkin. Menyentil? Pasti. Tapi pertanyaannya, apakah alumni Guru Penggerak sedang berubah dari agen perubahan menjadi agen kekecewaan?

Tak sedikit pula dari para alumni yang ikut menyebarkan meme tersebut, menyampaikan nada getir, dan menyiratkan bahwa perubahan kebijakan saat ini adalah bentuk kemunduran.

Memang tak bisa dipungkiri, perubahan istilah, skema seleksi, bahkan pembatalan atau revisi program acap kali menciptakan kesan bahwa pencapaian masa lalu dikesampingkan. Sebagian merasa upaya dan energi mereka selama mengikuti pelatihan dan membangun komunitas kini diabaikan. 

Namun perlu dicermati, apakah semua perubahan kebijakan harus dimaknai sebagai penurunan kualitas? Ataukah kita sedang melihatnya dari lensa kekecewaan dan nostalgia?

Dalam banyak kasus, kebijakan baru sejatinya tetap membawa semangat yang sama, hanya dengan kemasan atau pendekatan yang berbeda. Yang berubah sering kali hanya nama, bukan nilai esensialnya.

Di sinilah mentalitas alumni PGP diuji. Program ini tidak hanya melatih kompetensi teknis, tetapi juga membentuk karakter kepemimpinan yang reflektif, adaptif, kolaboratif, dan berpihak pada murid. Maka, ketika kebijakan berganti, alumni seharusnya tidak langsung larut dalam narasi pesimis. 

Kritik boleh, bahkan penting. Namun kritik seharusnya dibangun dari refleksi mendalam, bukan dari sindiran tajam yang menyederhanakan persoalan kompleks. Menyebarkan meme sinis tanpa pemahaman utuh hanya akan memperkuat sinisme di kalangan guru lain dan memperlemah semangat kolektif untuk terus belajar dan bergerak.

Lebih penting untuk direnungkan adalah: apakah kita masih konsisten berpihak pada murid, atau sudah mulai kehilangan arah karena merasa tidak lagi menjadi prioritas? Karena sejatinya, kebijakan pendidikan bukan soal nama program siapa, tetapi tentang masa depan siapa. 

Dan itu selalu tentang murid. Sebagai alumni Guru Penggerak, kita dituntut untuk tetap menjadi jangkar nilai di tengah arus perubahan. Bukan sekadar penonton yang meratapi masa lalu, apalagi komentator yang menebar sinisme di ruang publik.

Kebijakan bisa berubah, tetapi arah pendidikan yang memerdekakan murid seharusnya tetap menjadi kompas kita. Jika ada kebijakan yang tidak ideal, maka tugas kita adalah menjadi jembatan pemahaman, bukan penyebar kecemasan. 

Kita bisa menjadi penafsir yang mencerahkan, bukan pemukul yang menakutkan. Karena perubahan tidak datang dari meme, tetapi dari guru-guru yang tetap berpikir jernih, bekerja nyata, dan bergerak meski keadaan tak selalu ideal.

Mentalitas Guru Penggerak adalah tentang konsistensi pada nilai, bukan keterikatan pada label. Maka ujian sebenarnya dari alumni PGP bukanlah seberapa banyak sertifikat yang dimiliki, tetapi seberapa kuat mereka bertahan dan bergerak di tengah riuhnya perubahan.

Karena dunia pendidikan tak akan berubah hanya oleh program, tetapi oleh orang-orang yang terus percaya bahwa pendidikan adalah kerja panjang yang butuh harapan, bukan keluhan.

Jangan sampai karena kita belum mampu memanjat pohon, lalu kita terburu-buru menyebarkan kabar bahwa buahnya pahit. Bisa jadi, buah itu tetap manis; kita saja yang belum sampai untuk menikmatinya. 

Maka yang perlu diuji bukan buah di atas pohon, tapi keteguhan kita memanjatnya. Seberapa dalam mentalitas sebagai alumni Guru Penggerak telah kita hayati.

***

*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bondowoso just now

Welcome to TIMES Bondowoso

TIMES Bondowoso is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.