TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Modernitas digital melahirkan rezim baru yang tidak pernah dibayangkan oleh para filsuf sebelumnya: rezim algoritma. Ia tidak memerintah dengan kekerasan, tetapi dengan prediksi, preferensi, dan pemetaan perilaku.
Kita hidup di tengah banjir besar data, tetapi kehilangan arah tentang siapa diri kita. Filsuf Prancis Bernard Stiegler menyebut kondisi ini sebagai “pharmacology of technology” obat yang sekaligus racun. Ia membantu, tetapi juga mencandui; ia mempermudah, tetapi juga memperlemah daya batin.
Dalam tradisi Islam, Al-Ghazali memberikan peringatan senada: “Ilmu yang tidak menghidupkan hati hanyalah beban yang diseret pemiliknya.” Hari ini, informasi melimpah, tetapi hati tetap kosong.
Di sinilah rezim algoritma bekerja: melimpahkan data, tetapi menggerus makna. Algoritma sebagai Penjara Halus Kesadaran Mengapa manusia merasa semakin cerdas tetapi sekaligus semakin rapuh? Karena algoritma tidak hanya menyediakan informasi; ia membentuk ulang struktur pengalaman.
Kita tidak lagi memilih berdasarkan kehendak jernih, tetapi berdasarkan apa yang sistem perkirakan sebagai “yang paling sesuai untuk kita.” Heidegger menyebut teknologi sebagai Gestell, kerangka yang membingkai cara manusia melihat dunia. Dalam digitalisasi, Gestell ini mewujud sebagai feed, rekomendasi, dan notifikasi.
Ibn Arabi punya istilah yang jauh lebih puitis namun tepat: hijab, tirai halus yang menghalangi manusia menangkap kebenaran. Algoritma hari ini adalah hijab kontemporer tirai yang tidak menutup mata, tetapi menutup kedalaman.
Kita seakan hidup dalam kebebasan, padahal perlahan diarahkan menuju pola yang homogen. Kebebasan berubah menjadi ilusi yang dibungkus kenyamanan.
Sufisme mengajarkan bahwa hakikat diri hanya terungkap ketika manusia memasuki ruang sunyi. Sunyi bukan sekadar diam fisik, tetapi kejernihan batin yang lahir ketika manusia mampu menata ulang ritme kesadarannya.
Namun bagaimana sunyi bisa hadir jika hidup kita dipenuhi notifikasi, distraksi, dan keharusan untuk selalu “terhubung”? Rumi pernah menulis, “Di dalam dirimu ada lilin, tetapi ia tak akan menyala jika anginnya terlalu ramai.” Dan kehidupan digital adalah angin yang tak henti berhembus.
Di pesantren dan tradisi sufistik, sunyi bukan pelarian ia adalah metodologi. Disiplin malam, wirid, zikir, kontemplasi: semuanya adalah cara untuk memulihkan kemampuan manusia memandang dunia dengan mata hati, bukan sekadar mata piksel. Namun hari ini, jiwa semakin sulit menemukan rumahnya, karena rumah itu direbut oleh layar yang dekat, canggih, dan menuntut perhatian tanpa henti.
Maka di tengah hiruk-pikuk inilah ruang sunyi memiliki daya penyembuh yang tak tergantikan. Sunyi memberi manusia kesempatan untuk kembali menjadi subjek, bukan sekadar konsumen perhatian.
Dalam keheningan batin, manusia dapat melihat teknologi tanpa terpesona olehnya, memahami dunia digital tanpa ditelan arusnya. Di sanalah lahir kemampuan untuk berdialog dengan zaman modern secara lebih jernih dan berani. Para sufi menyebutnya basirah mata batin yang mampu menembus ilusi.
Dengan basirah, manusia tidak lagi takut pada kecepatan perubahan; ia justru menemukan pijakan baru untuk mengarahkan hidupnya di tengah pusaran digital. Karena sunyi bukan penarikan diri dari dunia, melainkan tempat manusia membangun kembali kekuatan untuk memasuki dunia dengan kesadaran penuh. Di titik ini, ruang sunyi bukan hanya tempat kembali, tetapi sumber harapan untuk tetap menjadi manusia seutuhnya di era algoritma.
Kita tidak sedang dipanggil untuk menolak teknologi. Sufisme tidak anti-kemajuan; ia anti-keterlenaan. Tantangannya bukan pada gawai, tetapi pada posisi batin kita terhadap gawai.
Digitalisasi membutuhkan penyeimbang bukan sekadar moralitas, tapi spiritualitas yang berpijak pada kesadaran. Spiritualitas yang bukan menutup dunia, tetapi membuka ruang kejernihan di dalamnya.
Muhammad Iqbal menulis: “Diri manusia adalah energi kreatif yang tak boleh diserahkan kepada kekuatan di luar dirinya.” Algoritma adalah kekuatan itu bukan musuh, tetapi potensi belenggu. Karena itu, kawan: Pertama, Dzikir mengembalikan manusia pada kehadiran. Kedua, Filsafat mengembalikan manusia pada pertanyaan. Ketiga, Teknologi membantu manusia bekerja, bukan berpikir untuknya.
Ketika ketiganya diselaraskan, manusialah yang memimpin algoritma bukan sebaliknya. Di titik ini, kita tidak lagi menjadi kelas pekerja perhatian, tetapi subjek merdeka yang mengarahkan hidupnya secara sadar.
Dan kenyataannya menunjukkan bahwa ketergantungan pada algoritma bukan hanya soal kealpaan spiritual, tetapi telah memunculkan krisis nyata dalam kesadaran bersama. Studi terbaru menemukan bahwa algoritma media sosial lewat rekomendasi konten otomatis mampu membentuk “gelembung informasi” yang menutup paparan terhadap perspektif berbeda, serta memperkuat polarisasi dan isolasi sosial.
Tidak hanya itu, ada pula riset yang menunjukkan bahwa pengguna remaja atau muda sering mengalami penurunan kesehatan mental kecemasan, rasa tidak cukup (inadequacy), dan depresi akibat paparan konstan terhadap konten yang memicu citra hidup dan kesuksesan ideal yang tak realistis, ditambah dengan insting adiktif dari “scroll tanpa henti” yang diatur algoritma.
Artinya: bukan hanya jiwa individu yang tergerus, melainkan kemampuan kolektif manusia untuk berpikir, merasakan, dan berempati aspek fundamental dari kehidupan spiritual dan sosial juga tersandera. Jika kita tak sadar dan tak membuka kembali ruang sunyi batin, maka digitalisasi bukan semata memudahkan hidup ia memiskinkan manusia dari makna.
Maka dari itu, perjuangan untuk menjadi manusia merdeka hari ini bukan hanya soal menahan jari dari “scroll berikutnya”, tetapi soal membebaskan batin dari belenggu statistik dan algoritma menghidupkan kembali potensinya melalui dzikir, refleksi, dan kesadaran agar kita tidak kehilangan diri dalam gemerlap tiruan kenyataan.
Rezim algoritma tidak akan berhenti. Ia akan semakin canggih, semakin intim, semakin mengerti diri kita. Pertanyaannya bukan bagaimana mencegahnya, tetapi bagaimana tidak tercerabut dari akar kemanusiaan di tengah kekuatan itu. Tasawuf memberi kita peta pulang: kesadaran, sunyi, dzikir, kejernihan. Filsafat memberi kita kerangka kritis: siapa yang mengarahkan siapa?
Digitalisasi memberi kita alat. Tetapi hanya manusia yang menghadirkan dirinya secara utuh yang mampu membuat alat itu menjadi sahabat, bukan penguasa. Dan selama manusia masih mampu menjaga sunyi di dalam dirinya, algoritma tidak akan pernah bisa menguasai seluruh pikirannya.
***
*) Oleh : Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |