https://bondowoso.times.co.id/
Opini

Cermin Buram Tradisi Tabayyun dan Ishlah NU

Senin, 01 Desember 2025 - 13:36
Cermin Buram Tradisi Tabayyun dan Ishlah NU Sutriyono, Mahasiswa S3 prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Ketua STIS Darul Falah Bondowoso.

TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Konflik internal yang mencuat ke tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam beberapa waktu terakhir telah menyita perhatian publik. Ramai pernyataan, konferensi pers, potongan video, hingga rumor digital berloncatan dari satu kanal ke kanal lain. 

Fenomena ini tidak hanya dapat dibaca sebagai dinamika organisasi semata, tetapi sebagai episode yang menyentuh fondasi etik dan kultural NU itu sendiri. Sebab NU bukan hanya wadah keagamaan terbesar di negeri ini NU adalah rumah besar tradisi keilmuan pesantren, lembaga sosial umat, sekaligus simbol otoritas moral yang selama ini menjadi penyangga umat Islam di Indonesia.

Di titik ini pertanyaannya menjadi sederhana namun fundamental: bagaimana konflik internal PBNU bisa begitu mudah merembes ke ruang publik, dan mengapa prinsip yang selama satu abad lebih menjadi identitas NU tabayyun (klarifikasi) dan ishlah (perdamaian) seolah turut kabur dari panggung perilaku elit organisasi? 

Padahal NU lahir dan tumbuh di dalam kultur adab, kehati-hatian, dan kelembutan keulamaan. Namun hari ini, sebagian panggung komunikasi publik justru memperlihatkan kontras yang mencemaskan.

Secara historis, tabayyun bukan sekadar proses verifikasi informasi, melainkan etika intelektual dan moral yang berakar dalam pada tradisi keilmuan pesantren. Tabayyun menuntut kesediaan untuk mendengar secara utuh, menghindari prasangka, tidak tergesa menarik kesimpulan sebelum memastikan sanad informasi. 

Melalui proses itulah pesantren membangun tradisi keilmuan yang rapi: menguji dalil, menguji maksud, menguji konteks, dan menguji dampak. Ketika prinsip ini goyah, ruang kecurigaan akan tumbuh, dan keputusan cenderung diarahkan oleh emosi, bukan hikmah.

Demikian juga dengan ishlah. Dalam kultur NU, ishlah bukan sekadar pertemuan untuk berdamai, tetapi moralitas kolektif untuk merawat persatuan. Ishlah menjadi bentuk pengabdian para kiai: meminimalkan konflik, mengurangi risiko perpecahan, dan menjaga hubungan sosial jamaah agar tetap utuh. 

Karena itu, ketegangan yang berlarut-larut di antara elit PBNU hari ini bukan hanya soal perbedaan tafsir kewenangan struktural, tetapi juga soal melemahnya kepekaan terhadap amanah ishlah itu sendiri. Ketika elite tidak berishlah, warga nahdliyin dengan sangat mudah terbawa arus dukung-mendukung dan di situlah potensi polarisasi lahir.

Jika ada satu variabel baru yang memperkeruh atmosfer organisasi keagamaan saat ini, jawabannya adalah perubahan drastis ekosistem komunikasi digital. Media sosial telah membelah ritme dialog pelan versi pesantren dan menggantinya dengan arus opini yang cepat, emosional, dan tak mengenal struktur kewenangan. Setiap orang bisa mengklaim diri sebagai penyampai “sikap resmi”. Setiap narasi bisa diviralkan tanpa konfirmasi. Setiap data bisa dipotong hingga menyesuaikan preferensi audiens.

Dalam ruang seperti ini, konflik internal PBNU mengalami akselerasi. Ketegangan awal yang seharusnya bisa diredam melalui forum internal, berubah menjadi konsumsi publik. Situasi diperburuk oleh fragmentasi otoritas suara: siapa pun yang berbicara lalu dianggap mewakili organisasi. Publik pun bingung membedakan mana informasi valid dan mana narasi spekulatif. Dan ketika tabayyun tidak bekerja, ishlah menjadi semakin menjauh.

Karena itu, persoalan NU saat ini sebenarnya bukan semata-mata konflik struktur, tetapi konflik kultur komunikasi. NU yang lahir dalam eco-system pesantren yang mengedepankan musyawarah tertutup, dialog pelan, dan kehati-hatian tiba-tiba harus beroperasi di dunia digital yang bergerak dengan ritme kebisingan, kecepatan, dan tekanan warganet. 

Organisasi sebesar NU belum sepenuhnya selesai menyediakan sistem komunikasi publik yang tegas, terpadu, dan kredibel. Akibatnya, ruang publik terisi oleh tafsir-tafsir liar yang pada gilirannya memukul wibawa organisasi.

Namun refleksi semacam ini tidak dimaksudkan untuk menambah gelombang pesimisme. Justru sebaliknya: di saat wajah organisasi tampak seperti cermin yang mulai berkabut, inilah momentum untuk menyeka kabut itu bersama. 

Ketegangan yang terjadi saat ini seyogianya menjadi titik balik untuk mengaktifkan kembali tradisi etik yang diwariskan para muassis NU. Para kiai telah mengajarkan bahwa perbedaan pendapat bukan hal yang menakutkan yang berbahaya adalah ketika perbedaan tidak diarahkan menuju ishlah.

Syuriah dan tanfidziyah sebagai dua poros utama organisasi tidak dapat terus-menerus berjalan dengan frekuensi berbeda. NU membutuhkan ketegasan moral Syuriah, kecekatan eksekutif Tanfidziyah, dan kerendahan hati keduanya untuk saling memperbaiki suasana kebatinan. Kewibawaan organisasi terletak di pundak keteladanan mereka. Jika elite sejuk, jamaah akan tenang. Jika elite bertikai, jamaah akan pecah.

NU telah berusia hampir satu abad. Ia bertahan terhadap kolonialisme, otoritarianisme, turbulensi politik nasional, hingga perubahan sosial yang ekstrem. Yang membuat NU kokoh bukanlah jumlah anggotanya, melainkan kekuatan tradisi etik dan moral yang diwariskan para kiai. Karena itu, mengembalikan NU pada khittah tabayyun dan ishlah bukan nostalgia romantik melainkan kebutuhan organisasi untuk menjaga marwahnya.

Maka, inisiatif ishlah bukanlah tanda kelemahan, namun tanda kematangan. Klarifikasi bukan berarti tunduk, tetapi bentuk penghormatan pada kebenaran. Menahan diri dari hiruk-pikuk media sosial bukan berarti pasif, tetapi strategi untuk menjaga kewibawaan.

NU hanya akan tetap menjadi NU jika karakter keulamaan mengalahkan ego struktural, jika adab mengalahkan eksposur publik, dan jika persatuan mengalahkan ambisi.

Jalan ishlah selalu terbuka. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk memulainya dan kerendahan hati untuk menjalaninya. Jika NU mampu memulihkan kejernihan cerminnya, maka NU akan kembali menjadi peneduh umat di tengah era kebisingan: lembut tetapi tegas, rendah hati tetapi berwibawa, dan selalu memberi cahaya di tengah perubahan zaman.

***

*) Oleh : Sutriyono, Mahasiswa S3 prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Ketua STIS Darul Falah Bondowoso.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bondowoso just now

Welcome to TIMES Bondowoso

TIMES Bondowoso is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.