https://bondowoso.times.co.id/
Opini

Pembelajaran Lintas Batas

Minggu, 10 Agustus 2025 - 13:00
Pembelajaran Lintas Batas Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis.

TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Beberapa waktu ini, saya terlibat mendampingi guru dalam pelatihan pembelajaran mendalam. Dari ruang pelatihan itu, saya menemukan beberapa hal yang menarik. Salah satunya ketika guru diminta merancang pembelajaran berbasis projek. 

Sebagian besar masih terjebak dalam batas mata pelajaran masing-masing. Guru IPA sibuk di wilayah IPA, guru Bahasa bertahan di wilayah Bahasa, guru IPS nyaman dengan peta dan data sejarahnya. Akibatnya, projek yang dihasilkan cenderung sepotong-sepotong dan tidak saling terhubung.

Salah satu semangat pembelajaran mendalam adalah menciptakan pengalaman belajar yang utuh, kontekstual, dan bermakna bagi siswa. Untuk itu, projek perlu dirancang lintas batas. Projek yang melampaui sekat mata pelajaran. Inilah yang sering saya sebut sebagai pembelajaran lintas batas.

Di sinilah konsep inkuiri kolaboratif menjadi penting. Sederhananya, inkuiri kolaboratif adalah proses mencari tahu atau memecahkan masalah secara bersama-sama. 

Dalam konteks guru, ini berarti merancang pembelajaran berbasis projek secara kolaboratif lintas mata pelajaran. Bukan hanya duduk bersama untuk membagi-bagi tugas, tetapi benar-benar menyatukan perspektif dan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu.

Ketika memilih tema projek “Pengelolaan Sampah di Sekolah”, guru IPA bisa memberi penjelasan ilmiah tentang jenis sampah dan proses daur ulang. Guru IPS membahas kebijakan lingkungan dan peran masyarakat. Guru Matematika membantu menghitung data timbulan sampah. Guru Bahasa melatih siswa menulis laporan dan kampanye publik. Semua ini dirangkai menjadi satu kesatuan projek yang padu.

Saya mendapati ada beberapa kerancuan konsep. Banyak guru menganggap inkuiri kolaboratif sama dengan team teaching biasa. Bedanya jelas, team teaching seringkali hanya pembagian jam atau materi, sementara inkuiri kolaboratif adalah integrasi ide untuk memecahkan masalah nyata secara bersama. Di sini, guru tidak lagi sekadar mengajar bagian masing-masing, tetapi ikut memikirkan keseluruhan proses dari awal hingga akhir.

Ada juga istilah kemitraan pembelajaran (learning partnership). Kemitraan ini bukan hanya antara guru-guru, tetapi juga melibatkan siswa, orang tua, bahkan pihak luar seperti komunitas, dunia usaha, atau pemerintah daerah. 

Tujuannya memperkaya proses belajar dengan sumber daya dan perspektif yang lebih beragam. Sebagian guru masih melihat kemitraan pembelajaran sebatas mengundang narasumber atau mengajak kunjungan lapangan. 

Interkoneksi, inkuiri kolaboratif, dan kemitraan pembelajaran. Tiga istilah ini sebenarnya saling terkait. Interkoneksi memastikan ide dan konsep dari berbagai bidang saling terhubung. Inkuiri kolaboratif memberi kerangka proses berpikir bersama untuk memecahkan masalah. 

Kemitraan pembelajaran membuka pintu agar proses itu melibatkan lebih banyak pihak. Jika dipahami secara utuh, ketiganya menjadi fondasi kuat untuk pembelajaran lintas batas yang mendalam.

Saya teringat satu sesi pelatihan di mana guru-guru dari SMP yang berbeda duduk dalam kelompok dan diminta merancang projek “Air Bersih untuk Desa Kita”. Awalnya mereka bingung, bagaimana IPA, Bahasa, IPS, dan Seni bisa masuk dalam satu projek? Tapi setelah berdiskusi menggunakan pendekatan inkuiri kolaboratif, ide-ide kreatif muncul. 

Membuat filter air sederhana, menulis laporan penelitian, menyusun kampanye media sosial, bahkan membuat mural edukasi tentang hemat air. Di akhir sesi, mereka menyadari bahwa bekerja lintas batas justru membuat projek lebih hidup dan relevan bagi siswa.

Pengalaman seperti ini membuat saya yakin, kunci sukses pembelajaran lintas batas adalah kemauan untuk keluar dari zona nyaman. Guru perlu berani melepas ego mata pelajaran, mau mendengar ide rekan sejawat, dan membuka diri pada perspektif yang berbeda. Tanpa itu, projek kolaboratif hanya akan menjadi formalitas yang membosankan.

Bagi siswa, pembelajaran lintas batas membuka kesempatan belajar yang lebih bermakna. Mereka tidak hanya menghafal teori, tetapi mempraktikkan keterampilan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas. 

Mereka belajar bahwa masalah di dunia nyata tidak datang dalam bentuk soal pilihan ganda, tetapi sebagai persoalan kompleks yang butuh banyak sudut pandang untuk dipecahkan.

Tentu saja, merancang pembelajaran lintas batas tidak selalu mudah. Ada tantangan seperti jadwal pelajaran yang kaku, beban administrasi guru, hingga perbedaan gaya mengajar. Jika guru-guru mau memulai dari hal kecil, misalnya merancang satu projek bersama per semester, maka lambat laun budaya kolaborasi akan tumbuh.

Sebagai fasilitator, saya melihat perubahan sikap guru sebagai titik awal yang paling penting. Saat mereka mulai percaya bahwa bekerja lintas batas membawa manfaat nyata, maka energi positif itu akan menular ke siswa.

Dan di situlah, pembelajaran mendalam bukan lagi sekadar istilah di dokumen kurikulum, tetapi menjadi kenyataan di kelas-kelas kita.

***

*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bondowoso just now

Welcome to TIMES Bondowoso

TIMES Bondowoso is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.