TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Indonesia Emas 2045 bukan sekadar slogan seratus tahun kemerdekaan. Ia adalah visi besar tentang bangsa yang berdaulat, maju, dan berkeadaban. Namun, jalan menuju cita-cita itu tidak hanya diukur dari kemajuan ekonomi dan teknologi, melainkan juga dari kekuatan moral, spiritual, dan kebudayaan. Di titik inilah, pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) memainkan peran penting sebagai pilar kebudayaan dan intelektualitas bangsa.
Pesantren adalah benteng tradisi dan ilmu yang telah menumbuhkan generasi berilmu sekaligus beradab. Di sana, pengetahuan tidak hanya dipahami secara rasional, tetapi juga spiritual sebagai jalan ma‘rifatullah. Dalam ruang pesantren, ilmu bukan hanya alat mencari pekerjaan, melainkan sarana mendidik jiwa agar beradab dan bijaksana.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut pesantren sebagai tempat lahirnya manusia yang “berakar pada tradisi, namun terbuka pada masa depan.” Tradisi keilmuan pesantren menjadikan adab lebih tinggi daripada intelektualitas, sehingga ilmu selalu berpadu dengan keikhlasan, dzikir, dan khidmah. Di sinilah letak keunggulan pesantren: mencetak manusia yang cerdas pikirannya, halus budi pekertinya, dan kokoh spiritualitasnya.
Lebih dari itu, pesantren juga menjadi benteng kebudayaan Nusantara. Kearifan lokal yang melebur dengan ajaran Islam melahirkan peradaban khas: Islam yang ramah, menghargai tradisi, dan memuliakan kemanusiaan. Seni hadrah, marhaban, hingga tradisi haul bukan sekadar ritual sosial, tetapi ekspresi cinta spiritual yang memperkuat akar budaya bangsa.
Di tengah era kecerdasan buatan dan disrupsi teknologi, pesantren menunjukkan kelenturan yang unik. Literasi digital mulai diajarkan tanpa menanggalkan ruh sufistiknya. Bagi pesantren, teknologi bukan ancaman, melainkan alat untuk memperluas kemaslahatan.
Kecerdasan buatan hanyalah bayangan dari akal universal ciptaan Allah; karenanya, kemajuan teknologi seharusnya mendekatkan manusia pada hikmah, bukan menjauhkan dari kebijaksanaan.
Tradisi berpikir reflektif yang hidup di pesantren memungkinkan lahirnya generasi yang cerdas digital namun tetap berjiwa spiritual generasi yang memahami etika teknologi, bukan sekadar mahir menggunakannya.
NU dan Jaringan Kebudayaan Global
Nahdlatul Ulama lahir dari rahim pesantren dan tumbuh menjadi kekuatan sosial-keagamaan terbesar di Indonesia. Dengan jaringan yang meliputi pesantren, madrasah, dan lembaga pendidikan tinggi, NU bukan hanya gerakan keagamaan, tetapi juga kekuatan sosial dan kebudayaan.
NU mengajarkan moderasi (wasathiyah), toleransi (tasamuh), dan keseimbangan (tawazun) tiga nilai yang menjadi fondasi etika kebangsaan.
Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi yang sering mengikis kemanusiaan, NU tampil sebagai laboratorium sosial tempat nilai-nilai Islam dan kebangsaan berkelindan secara harmonis.
Kini, jaringan NU telah menembus dunia internasional. Cabang-cabang istimewa NU hadir di Mesir, Inggris, Arab Saudi, Amerika Serikat, hingga Australia. Melalui diplomasi kebudayaan dan dakwah kultural, NU menampilkan wajah Islam Nusantara yang ramah, moderat, dan beradab.
Ini bukan hanya representasi Indonesia di mata dunia, tetapi juga bukti bahwa Islam yang lahir dari rahim kebudayaan lokal mampu berkontribusi pada perdamaian global.
Menuju Indonesia Emas 2045, sinergi pesantren dan NU menjadi kebutuhan mendesak. Pesantren membangun manusia beradab dan berjiwa spiritual, sedangkan NU membentuk jejaring sosial yang memfasilitasi nilai-nilai itu dalam kehidupan publik. Keduanya harus berkolaborasi dalam tiga ranah: pendidikan, kebudayaan, dan digitalisasi.
Dalam pendidikan, pesantren perlu memperluas cakrawala ilmu tanpa meninggalkan ruh tradisi seperti mengintegrasikan sains dengan fikih lingkungan atau ekonomi Islam.
Dalam kebudayaan, NU dan pesantren harus menjadi penjaga nilai-nilai lokal sebagai sumber daya spiritual bangsa. Sementara dalam ranah digital, keduanya perlu menggerakkan literasi keislaman yang moderat, humanis, dan relevan bagi generasi muda.
Nilai sufistik yang hidup di pesantren dan NU sesungguhnya adalah fondasi keindonesiaan itu sendiri. Tasawuf tidak mengajak manusia lari dari dunia, tetapi menata dunia dengan hati yang bersih. Ia melahirkan etos kerja yang ikhlas, cinta kepada sesama, dan tanggung jawab sosial.
Seperti kata Nurcholish Madjid, spiritualitas sejati tampak dalam tindakan sosial yang membawa kemaslahatan bagi manusia. Inilah kekuatan yang menjadikan pesantren relevan sepanjang zaman: kemampuannya menghubungkan ilmu dengan hikmah, dan kecerdasan dengan kasih sayang.
Dalam perspektif sosiologi hukum, nilai-nilai sufistik yang hidup di pesantren dan NU membentuk kesadaran moral bagi sistem hukum sosial kita. Hukum bukan sekadar norma positif, tapi jalan menuju keseimbangan (mizan) dan rahmat (rahmah).
Praktik penyelesaian sengketa berbasis musyawarah dan tabayyun di lingkungan pesantren adalah contoh konkret dari wajah hukum Islam yang humanis dan berjiwa spiritual.
Pesantren dan NU bukan hanya warisan sejarah, tetapi sumber energi moral bagi masa depan. Ketika bangsa ini kian dikuasai logika material dan percepatan digital, pesantren hadir sebagai ruang jeda tempat manusia kembali belajar tentang makna, adab, dan keseimbangan.
Menuju Indonesia Emas 2045, bangsa ini membutuhkan bukan hanya kecerdasan, tetapi juga kebijaksanaan. Pesantren dan NU telah membuktikan diri sebagai penjaga nilai dan penyalur cahaya peradaban.
Jika keduanya terus bersinergi, Indonesia tidak hanya akan maju, tetapi juga beradab bangsa yang tumbuh dari akar tradisinya dan terbang dengan sayap spiritualnya.
***
*) Oleh : Saifullah, Mahasiswa S3 Studi Islam UNUJA Paiton Probolinggo dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |