https://bondowoso.times.co.id/
Opini

Dualisme PBNU: Bahaya Senyap Jamiyah dan Jamaah

Selasa, 02 Desember 2025 - 19:17
Dualisme PBNU: Bahaya Senyap Jamiyah dan Jamaah Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.

TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Di tengah derasnya arus modernitas dan politik yang terus bergerak, Nahdlatul Ulama selalu menjadi jangkar moral yang sejak awal berdiri dimaksudkan untuk menjaga thariqah al-fikr jalan berpikir para ulama. 

Ketika kini muncul tanda-tanda dualisme kepemimpinan di PBNU, bukan hanya struktur organisasi yang diuji, tetapi juga batin kolektif jam’iyah dan jamaah yang selama ini menggantungkan harapan pada kebijaksanaan para masyayikh.

Ibarat sebuah perahu besar yang dibangun dengan doa dan tirakat para kiai, NU tidak layak terombang-ambing oleh riak politik. Seperti diingatkan Imam al-Ghazali, “Kerusakan pemimpin adalah kerusakan negara, dan kerusakan ulama adalah kerusakan umat.” Di sinilah kegelisahan itu menemukan bentuknya: dualisme bukan hanya konflik administratif, tetapi juga ancaman moral yang halus.

Sejak lahir, NU bukanlah organisasi yang berdiri dari kalkulasi politik atau perebutan otoritas, melainkan hasil dari perjumpaan batin para ulama yang menghadap Allah untuk mencari petunjuk. Kiai Wahab Chasbullah pernah berpesan bahwa kepemimpinan NU “harus memikul bukan hanya amanah organisatoris, tetapi juga amanah spiritual.”

Sebab itulah dualisme hari ini terasa begitu menyayat. Seorang pengamat NU, Dr. Abdul Moqsith Ghazali, pernah berkata, “NU bisa berbeda, tapi tidak boleh pecah. Sebab pecah akan melukai kepercayaan umat yang melihat NU sebagai rumah ruhani.” 

Dalam perspektif kaum sufi, sebagaimana diajarkan Ibn ‘Ata’illah, “Jangan engkau bangun sesuatu yang tidak dibangun Tuhan untukmu.” Bila kepemimpinan dibentuk oleh ambisi, bukan amanah, maka yang lahir adalah kekacauan bahkan bila tampilannya tampak legal.

Dalam cara pandang sufistik, kepemimpinan bukanlah pangkat, tetapi maqam derajat batin yang diberikan kepada siapa pun yang jiwanya paling tunduk, bukan yang paling ingin duduk. Karena itu, para masyayikh selalu menolak jabatan sebelum jabatan itu sendiri yang “memanggil” mereka. Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili pernah mengingatkan, “Kepemimpinan yang dicari akan menjerumuskan, kepemimpinan yang datang tanpa diminta akan menyelamatkan.” 

Bila NU kini diguncang oleh dua klaim kepemimpinan, maka yang perlu dipertanyakan bukanlah siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang paling bersih kehendaknya. Sebab dalam logika tasawuf, kekacauan di luar selalu bermula dari kekacauan di dalam diri manusia. Dualisme yang lahir dari ambisi akan membawa gelap; tetapi kepemimpinan yang lahir dari keikhlasan akan menuntun jam’iyah kembali ke cahaya.

Dualitas kepemimpinan mungkin terlihat sebagai konflik elite di pusat, tetapi ia akan merembet ke lapisan paling bawah: PWNU, PCNU, MWC, hingga ranting dan anak ranting. Semua elemen ini sedang menahan nafas: kepada siapa mereka harus sami’na wa atha’na? Kepada siapa mereka melaporkan program, dana, administrasi, koordinasi? 

Sosiolog Muslim Ali Shariati pernah memperingatkan, “Ketika sebuah gerakan rakyat diperebutkan oleh elite, maka ruh perjuangannya akan mati sebelum tubuhnya roboh.”

NU bukan sekadar struktur, melainkan ekosistem sosial–kultural yang mengikat pesantren, majelis taklim, lembaga pendidikan, hingga jaringan ulama kampung. Ketika pusatnya retak, getarannya sampai ke desa-desa. 

Para kiai kecil yang selama ini menjadi tulang punggung NU di bawah, kini terjebak dalam diam yang penuh kecemasan. Pengamat NU, Prof. Greg Fealy pernah menekankan bahwa “NU memiliki kekuatan justru pada kohesi pemimpinnya. Begitu elite NU terbelah, seluruh jaringan ikut goyah.”

Inilah “bahaya senyap” yang tidak banyak disadari publik: bukan hanya soal siapa yang sah, tapi bagaimana umat mengalami kebingungan batin.

Islah, MLB, atau Menunggu Muktamar

Tiga opsi sering disebut: Pertama, Islah: Jalan Para Sufi-Islah adalah jalan penyembuhan batin. Ini sejalan dengan ajaran Rumi, “Di mana ada konflik, di sana ada ego. Di mana ada kasih, di sana ada jalan.” Namun islah tidak cukup bila tidak disertai kejelasan administratif dan kerangka hukum organisasi. Ia menyembuhkan, tetapi belum tentu menuntaskan. 

Kedua, MLB (Musyawarah Luar Biasa): Opsi Cepat namun Berisiko, MLB bisa menjadi solusi cepat, tetapi sekaligus pisau bermata dua. Bila tidak disiapkan dengan sangat matang, MLB justru memperlebar jurang perpecahan. NU selalu berhati-hati dengan opsi ini, karena sejarah mengajarkan: penyelesaian tergesa-gesa hanya melahirkan luka baru. 

Ketiga, Menunggu Muktamar: Jalan Paling Sahih namun Tidak Mengobati Luka Sekarang Menunggu muktamar adalah opsi yang paling aman dan legal secara konstitusi. Tetapi waktu yang panjang menyisakan risiko berlarut-larutnya dualisme, yang bisa merusak struktur di bawah.

Maka, sebenarnya NU memerlukan kombinasi dua jalan: Islah batiniah para elite, untuk menurunkan tensi dan mengembalikan niat; ditambah mekanisme organisatoris yang jelas, entah menuju Muktamar atau forum sah lain, agar kepemimpinan kembali satu. Seperti pesan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, “Ishlah bukan hanya memperbaiki hubungan antar manusia, tetapi menata ulang hati sebelum menata ulang struktur.”

Dualisme di PBNU hari ini bukan sekadar persoalan internal organisasi; ia adalah panggilan untuk kembali ke jati diri NU sebagai rumah para ulama yang dibangun atas istikharah, bukan ambisi. 

NU berdiri bukan dari rahim kekuasaan, tetapi dari rahim tawadhu’ para masyayikh yang merindukan kemaslahatan umat. Ibarat pesan Ibnu Arabi, “Ketika manusia sibuk mempertahankan bentuk, mereka kehilangan ruh.” NU harus berhati-hati agar tidak kehilangan ruhnya.

Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada melihat keluarga besar para ulama terbelah karena persoalan administratif. Di tengah kegetiran ini, NU butuh ketenangan batin, keluasan jiwa, dan keberanian untuk merajut kembali kepemimpinan yang satu. Sebab NU bukan milik elite mana pun NU adalah amanah para kiai, air mata para santri, dan harapan umat di pelosok negeri.

***

*) Oleh : Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bondowoso just now

Welcome to TIMES Bondowoso

TIMES Bondowoso is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.