TIMES BONDOWOSO, BONDOWOSO – Idul Kurban hadir setiap tahun sebagai momen penting bagi umat Islam untuk merenungkan nilai-nilai keikhlasan, pengorbanan, dan ketaatan. Perayaan ini merujuk pada kisah agung Nabi Ibrahim dan Ismail. Kisah tentang kepatuhan mutlak kepada kehendak Ilahi, meskipun harus mengorbankan sesuatu yang sangat dicintai.
Namun dalam praktiknya, semangat luhur Idul Kurban ini seringkali dikaburkan oleh perilaku yang justru bertolak belakang, salah satunya adalah fenomena “berebut kepala”.
Di sejumlah wilayah, terutama di pedesaan, kepala hewan kurban (baik kambing, domba, maupun sapi) menjadi bagian yang paling diperebutkan. Kepala dianggap sebagai bagian istimewa, baik karena nilai simboliknya, kedudukannya dalam adat, maupun alasan prestise tertentu.
Tak jarang, perebutan kepala ini memicu konflik kecil antarwarga. Yang memprihatinkan, tradisi semacam ini terjadi hampir setiap tahun, namun tidak pernah menjadi bahan renungan kritis.
Jika ditelaah lebih jauh, perebutan ini menunjukkan adanya orientasi yang melenceng dari semangat kurban itu sendiri. Kurban seharusnya mengajarkan untuk memberi, bukan berebut. Mengorbankan yang dicintai, bukan mempertahankan yang diingini. Merendah, bukan ingin diutamakan.
Namun fenomena “berebut kepala” tidak hanya terjadi secara harfiah pada hewan kurban. Dalam kehidupan sosial dan politik kita, fenomena ini hadir dalam bentuk yang lebih kompleks dan ironis.
Berebut menjadi kepala. Menjadi kepala berarti menjadi pemimpin, dan dalam konteks ini, banyak orang berlomba-lomba untuk menduduki posisi sebagai ketua, direktur, kepala dinas, kepala sekolah, bahkan kepala daerah.
Sayangnya, tak sedikit dari mereka yang berebut bukan karena visi pengabdian, melainkan karena tergiur akan kekuasaan, fasilitas, dan status sosial yang melekat pada jabatan tersebut.
Kepemimpinan bukan lagi dipahami sebagai amanah, tetapi sebagai “kepala” yang harus dimiliki dan diperebutkan. Proses menuju posisi kepemimpinan pun kadang dipenuhi manuver politik, saling sikut, bahkan transaksi kekuasaan.
Dalam banyak kasus, yang terpilih bukan yang paling layak, tetapi yang paling lihai dalam membangun kekuatan atau memainkan strategi.
Idul Kurban semestinya menjadi titik balik dari cara berpikir seperti itu. Lihatlah Nabi Ibrahim. Ia tidak pernah meminta menjadi kepala kaum. Ia menjadi pemimpin karena keikhlasannya dalam berkorban.
Ketika diperintahkan untuk menyembelih anaknya, ia tidak tawar-menawar, tidak berdalih. Ia tunduk penuh kepada perintah Allah. Dari ketundukan dan pengorbanan itulah, ia diangkat sebagai pemimpin umat.
Dalam konteks ini, kepemimpinan sejati lahir bukan dari perebutan, tetapi dari pengabdian. Menjadi kepala bukan tentang meraih kuasa, tetapi tentang seberapa besar seseorang rela mengorbankan dirinya untuk orang lain.
Sebagaimana Nabi Ismail yang berkata, “Lakukanlah apa yang diperintahkan padamu, Ayahku. Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,” di situlah pelajaran keteladanan dari pemimpin masa depan. Yang siap berkorban, bukan sekadar ingin diistimewakan.
Fenomena berebut kepala (baik yang literal maupun simbolik) perlu menjadi cermin besar bagi kita semua. Jangan sampai qurban yang sejatinya sarat nilai spiritual justru menjadi ajang mempertontonkan kerakusan dan egoisme.
Jangan sampai jabatan-jabatan yang seharusnya menjadi jalan pengabdian berubah menjadi objek rebutan yang mengabaikan kelayakan dan tanggung jawab.
Sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri. Apakah kita hanya ingin menjadi kepala, atau sungguh-sungguh ingin memikul tanggung jawab sebagai pemimpin? Apakah kita ingin dikenal sebagai orang yang duduk di atas, atau dikenang sebagai orang yang rela berkorban untuk banyak orang?
Di tengah dunia yang semakin bising dengan persaingan dan kepentingan, kita butuh lebih banyak orang yang rela menundukkan kepala, bukan hanya ingin menjadi kepala.
Hakikat kepemimpinan bukan terletak pada gelar atau posisi, melainkan pada sejauh mana kita mampu mengorbankan kenyamanan diri demi kemaslahatan bersama. Kurban mengajarkan, kemuliaan bukan terletak pada apa yang kita raih, tetapi pada apa yang berani kita lepaskan.
Idul Kurban harus menjadi pengingat bahwa kemuliaan bukan datang dari posisi, tetapi dari pengorbanan. Kepala sejati bukanlah yang berada di atas, tetapi yang mampu menundukkan diri untuk kemaslahatan bersama.
Kesediaan untuk menyembelih ego dan ambisi diri. Di tengah dunia yang semakin bising dengan persaingan dan kepentingan, kita butuh lebih banyak orang yang rela menundukkan kepala, bukan hanya ingin menjadi kepala.(*)
***
*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |